Semua ini memperkuat, alih-alih mengurangi, kesenjangan kemakmuran antara negara kaya dan miskin. Hasilnya adalah eksploitasi global yang lebih rakus atas alam dan naiknya kesenjangan kekuasaan dan kemakmuran. Korporasi global tidak punya kesetiaan pada apapun selain kepada bottom line mereka, yakni keuntungan ekonomi.Â
Salah satu dampak dari globalisasi kapital mutakhir dan kekhawatiran kelangkaan pangan di tingkat global adalah pencaplokan tanah (land grab) secara masif. Modal swasta dan dana pemerintah berusaha menguasai lahan luas untuk menghasilkan tanaman pangan dan persediaan biofuel bagi pasar.
Boven Digoel merupakan salah satu kabupaten terluas di provinsi Papua, yang memiliki luas wilayah 27.108 km persegi (sumber : Wikepedia), dengan mayoritas wilayahnya adalah hutan primer/hutan alam. Menjadi target investor perkebunan sawit untuk menanamkan modalnya.Â
Di sana 14 perusahaan perkebunan sudah mendapatkan izin Pelepasan Kawasan Hutan dengan luas total 417.251 hektar, saat ini sebagian besar masih tertutup hutan.Â
Sampai akhir Desember 2018 hanya sekitar 30,254 hektar dari jumlah total tersebut yang sudah dibuka dan ditanami kelapa sawit – sisanya masih hutan alami.
Jika melihat laporan investigasi yang dilakukan The Gecko Project, bekerja sama dengan Mongabay, Tempo, dan Malaysiakini.Â
Terlihat beberapa perusahaan-perusahaan kelapa sawit yang mendapatkan izin konsesi dengan  tidak transparan, mulai perusahaan yang hanya didirikan 8 hari pada bulan Februari tahun 2007, alamat perusahaan yang palsu, bahkan dua orang pemilik saham pun ternyata palsu, dan tidak adanya presentasi dan penilaian AMDAL guna memperoleh izin lingkungan.Â
Para pemilik saham perusahaan-perusahaan yang memperoleh izin konsesi di Boven Digoel pun tidak diketahui. Proyek di Boven Digoel pun diselimuti baying-bayang kelam. Â