Mohon tunggu...
AyahArifTe
AyahArifTe Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Ayah

Penulis dan mantan wartawan serta seorang ayah yang ingin bermanfaat untuk orang lain.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Menulis Cerpen Itu Sulit? Ini Tipsnya

18 Februari 2023   08:12 Diperbarui: 18 Februari 2023   16:40 399
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Belakangan saya sibuk berkutat dengan artikel-artikel fiksi. Tepatnya cerita pendek (cerpen). Bahkan cerita yang pendek sekali. Atau fiksi mini, menurut istilah penulis kawakan, Gol A Gong. Sebuah gaya cerita pendek yang tidak panjang alias mini dan dengan plot twist (mengejutkan/tidak disangka) di akhir cerita. Sebuah gaya yang saya sangat suka. 

Panjangnya maksimal hanya 1000 kata. Asik. Tak perlu berpikir panjang. Tantangannya memang di akhir cerita dan bagaimana membuat pembaca  mau terus membaca dari awal hingga akhir. Dengan kata lain, membangun rasa kepo (bahasa anak sekarang). Ini tantangan yang tidak mudah. 

"Jangankan bikin kepo, Rif. Nulis cerita satu paragraf aja udah keringetan gue! Hahaha ... " seloroh seorang teman ketika saya ajak untuk ikut menulis cerpen. 

Saya bisa memaklumi, sih. Memang tidak mudah, tapi itu mungkin. Kalau ada kemauan. Nah, biasanya kemauan ini lah yang jadi mental block banyak orang. Penulis Budiman Hakim, dari komunitas The Writer, dan seorang penulis naskah iklan (copywriter) terkenal di negeri ini, pernah bilang begini, "Tulislah lebih dulu apa yang ada di pikiran kita, setelah itu edit/sunting naskahnya."

Saya sendiri saat memberikan tips menulis kepada siapa pun selalu mengatakan, "Tulis apa yang kamu pikirkan. Bukan berpikir apa yang mau ditulis! Kalau dipikir-pikir terus, itu bukan menulis namanya. Tapi, berpikir untuk menulis. Padahal tugasnya adalah menulis."

Menulis cerpen pun tidak sulit sebenarnya. Banyak berlatih saja. Mungkin Anda yang membaca ini akan mengatakan, "Ah, Anda kan memang sudah berpengalaman, jadi mudah saja bicara." Kalau boleh menanggapi pernyataan itu, begini saya akan bilang, "Dulu awalnya pikiran saya sama dengan Anda. Haha ... Tapi, yang saya lakukan adalah mulai menulis."

Yes, langkah pertama memang mulailah menulis. Menulis ya! Bukan berpikir menulis! Sekali lagi, MENULIS, MENGETIK! Setelah mulai menulis, cari teman yang memang berpengalaman menulis untuk membaca hasil tulisan Anda. Ini sudah masuk yang namanya proses editing. 

O ya, sebelum mulai menulis - untuk menghancurkan mental block, Anda harus memiliki juga mental belajar. Humble. Siapa pun, Anda, apa pun profesi Anda, pupuklah mental 'gelas kosong'. Anda harus siap 'diisi gelas' alias belajar. Belajar mendengarkan, menyimak, memahami dan menjalankan apa yang disarankan. Bukan mengasah keahlian berdebat (karena merasa tulisan Anda sudah benar). 

Menulis ya! Bukan berpikir menulis!

Kalau sudah punya mental mau belajar, lalu bertekad mau menulis, pasti jadi barang itu - begitu istilah orang-orang politik (hehe). Sekali lagi ya, MENULIS! Bukan berpikir untuk menulis. 

Salah-satu buku antologi saya bersama Gol A Gong - image by Penerbit Dandelion
Salah-satu buku antologi saya bersama Gol A Gong - image by Penerbit Dandelion

Lalu, bagaimana menulis cerpen? Justru menurut saya, menulis cerpen itu yang paling mudah. Kok bisa? Iya, mudah kok. Caranya, Anda coba ajak ngobrol seseorang. Entah, seorang kawan yang Anda temui setelah membaca tulisan ini atau pasangan Anda, entah siapa lah. Yang penting makhluk hidup. Bisa diajak komunikasi (untuk tingkat advance, bahkan bisa ... ah, sudahlah ... nanti saja bagian ini ... haha).

Hasil ngobrol itu Anda tulis. Ya, tulis dialog itu. Bahkan, kalau perlu rekam percakapan Anda itu dengan ponsel secara diam-diam. Nah, mudah 'kan? 

O iya, mungkin Anda bertanya lagi, ngobrol tentang apa? Nah ini lebih mudah lagi. Anda hanya perlu melihat apa yang ada di sekeliling Anda dan lawan bicara Anda. Kalau ada kucing, bicaralah tentang kucing. Kalau ada tikus lewat, ya lebih seru lagi. Pasti Anda bersama kawan akan kabur 'kan. Nah, Anda bisa bicara soal ketakutan terhadap tikus. Kapan mulai takut. Apa yang Anda takutkan. Bagaimana cara berburu tikus. Pengalaman berburu tikus. Sudah banyak 'kan bahan obrolan? Begitulah kira-kira. 

Apakah itu sudah bisa disebut cerpen? Belum, dong. He he. Yang namanya cerpen 'kan tergolong fiksi. Fiksi itu khayalan, secara singkat begitulah maknanya. Lalu, bagaiman supaya bisa disebut cerpen. Ya, buatlah hasil percakapan itu sebagai khayalan. Anda khayalkan proses dan ujung ceritanya. 

Misalnya obrolan soal ketakutan terhadap tikus tadi, Anda bisa berkhayal seandainya percakapan itu antara dua orang yang sedang bingung cari pekerjaan, lalu Anda dan kawan itu punya ide untuk menjual jasa berburu tikus. Lalu, berkhayal mencari informasi berbagai jebakan atau cara menangkap tikus. 

Lalu, Anda berdua sibuk mencari modal untuk membeli alat-alat penangkap tikus. Lalu, sibuk mencari pelanggan. Sampai akhirnya Anda berdua bertemu dengan calon pelanggan seorang wanita cantik nan bahenol. Single, pun (hihi .. namanya juga berkhayal 'kan). Lalu Anda berdua jatuh cinta pada si calon pelanggan. Lalu, Anda malah sibuk menarik hati si gadis ketimbang cari cuan. Lalu ... jadilah barang itu! Cerpen tentang "Dari Tikus Turun ke Hati". Haha ... 

Jadikan sebagai creative attitude (kebiasaan kreatif)

Nah, tantangan berikutnya memang adalah bagaimana bisa memiliki daya khayal. Om Bud (nama panggilan Budiman Hakim) punya tips yang amat mudah. Dia bilang di era media sosial seperti sekarang setiap orang pasti punya kebiasaan memberikan komentar di akun-akun media sosial orang lain. "Nah, buatlah komentar-komentar yang tidak lazim, bukan komentar yang sekadar 'wow, keren'. Tapi, komentar yang atraktif, yang khas Anda," begitu katanya. 

Saya pun menuruti kata-kata dia (inget ilmu 'gelas kosong' tadi). Komentar saya di media sosial kalau mau bilang setuju, selalu saya tulis, "Se7, se8, 9, 10." Sesederhana itu. Dan ini harus terus dilatih. Tulis komentar-komentar yang asik dan kreatif khas Anda. Lakukan terus-menerus. Bukan sekali-dua kali. Jadikan sebagai creative attitude (kebiasaan kreatif), kata Om Bud. 

Ini saja langkah-langkah yang perlu Anda pupuk dan latih terus setiap hari kalau Anda mau menulis cerpen. Sederhana. Sulit, mungkin iya. Tapi, mungkin untuk dilakukan 'kan? Bahkan, mungkin bisa setiap hari lahir cerpen. He he ...

By the way, apa yang Anda baca ini juga adalah apa yang ada di kepala saya di pagi hari. Di tengah kebekuan ide saya untuk menulis apa dan di tengah rencana menulis beberapa cerpen untuk buku-buku antologi (baik cerpen/fiksi maupun non-fiksi) saya bersama kawan-kawan komunitas penulis. 

Loh, kok jadi panjang ya? Ya begitulah. Selamat mencoba ya. Semoga berhasil. 

*catatan penting; saya bukan (belum - semoga) penulis cerpen tersohor ya ... mungkin saja ada yang lebih andal dan tersohor, monggo komentarnya ya. Hanupis!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun