Memiliki SIM (Surat Izin Mengemudi) di negeri ini ternyata bukan berbanding lurus dengan ketaatan berlalu-lintas. Rasanya pernyataan saya ini sudah menjadi rahasia umum.Â
Meski miris terdengar, tapi itulah faktanya. Suka atau tidak suka, ya c'est la vie di Tanah Air, khususnya di kota-kota besar. Skeptis? Mungkin iya. Pesimis? Hmm ... saya masih berusaha untuk optimis sih, makanya saya buat tulisan ini.Â
Saya masih menjaga untuk tetap bersikap optimis terhadap berbagai hal. Termasuk urusan etika berlalu lintas ketika mengarungi aspal dengan motor matic saya.Â
Setidaknya saya sendiri berusaha untuk tetap tertib di jalan. Meski, misalnya, saya sering diklaksoni oleh pengendara lain saat berhenti di belakang garis stop di lampu merah.Â
Atau berjalan lambat di sisi kiri saat macet. Atau saat saya selalu sendirian yang rajin memberi peringatan kepada pengendara motor yang lampu sen-kanannya masih kedap-kedip padahal ia berada di sisi kiri. Padahal saya tidak memiliki SIM C atau A!Â
Yes ... Anda tidak salah baca, saya tidak memiliki SIM C maupun A sudah bertahun-tahun. Saya sudah terlanjur skeptis dalam hal memiliki dua jenis SIM tersebut.Â
Saya sudah terlanjur berprinsip; selama tertb berlalu-lintas insha Allah aman. Kedua kartu SIM itu hanya berfungsi saat bertemu razia saja, ternyata.Â
Dan saya dengan pasrah menyerahkan STNK saya untuk ditilang tanpa berusaha 'berdamai'. Dan dengan sabar dan pasrah juga saya membayar denda di loket Kejaksaan (bukan pengadilan tatib LL).
Kenapa saya bersikap seperti itu? Karena saya pernah berusaha mengikuti prosedur memiliki kedua SIM tersebut dahulu kala.Â
Saya sudah belajar ujian teorinya. Dan berhasil lulus. Tapi ketika ujian praktek saya gagal. Saat itu saya melihat banyak peserta ujian yang gagal juga, tapi ternyata mereka 'diurus' oleh oknum dan mereka dengan mudah mendapatkan SIM.Â