Mohon tunggu...
AyahArifTe
AyahArifTe Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Ayah

Penulis dan mantan wartawan serta seorang ayah yang ingin bermanfaat untuk orang lain.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Alasan Daftar Sekolah/Kampus Negeri, Karena Murah?

13 Juni 2022   08:52 Diperbarui: 13 Juni 2022   09:09 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo by Artem Beliaikin - Pexel.com

"Jeeeng ... alhamdulilaah anakku sudah keterima di sekolah negeri!"

"Wah syukurlah ... Murah dong ya biaya sekolahnya?"

Anda mungkin sering mendengar percakapan seperti ini. Atau mungkin Anda sendiri yang terlibat dalam percakapan seperti itu? He he ...  Percakapan itu memang sudah lumrah di negeri ini. Sekolah atau kampus negeri sudah identik dengan kata 'murah'.  

Sejujurnya, saya merasa miris dengan identitas itu. Secara umum, seperti kita tahu kata 'murah' identik dengan kualitas rendah. Dalam hal pendidikan, apakah sekolah negeri berarti berkualitas rendah? Saya kira tidak sedikit sekolah negeri yang berkualitas bagus. Sebaliknya, apakah kualitas sekolah swasta sudah jaminan bagus? Tidak sedikit juga sekolah swasta yang berkualitas tidak baik, ya 'kan? 

Di sisi lain, kata 'berkualitas' bisa saja tidak selalu identik dengan mahal. Tapi, pada umumnya kata 'berkualitas' sudah terlanjur identik dengan kata 'mahal'. 

Rasa miris juga saya alami ketika mendengar seorang kawan memberikan jawaban, "Karena biaya kuliahnya murah, bro!" atas pertanyaan saya kenapa dia mendaftarkan anaknya ke kampus negeri.  Hmm ... apakah Anda juga seperti itu? Kalau iya, saya tidak menyalahkan Anda. Kadang memang kita harus memilih ... dan pilihan yang ada tidak jarang dilematis.

Sebagai orangtua kita pasti selalu ingin memberikan yang terbaik kepada anak-anak kita. Namun, sebagai orangtua di era seperti sekarang kita sepatutnya bijak dan cermat dalam memilih serta memberikan saran kepada anak-anak tentang sekolah/kampus mereka. Di era digital yang banjir informasi ini kita bisa mengajak - bukan mendikte - anak-anak dalam memilih sekolah mereka berdasarkan data-data yang valid. 

'Melek digital' ... itu kata kuncinya, menurut hemat saya. Konsep 'katanya' seharusnya tidak lagi dipakai oleh kita sebagai orangtua. Apa pun yang kita cari, informasinya sudah berlimpah di dunia maya. Kita harus pintar-pintar  dalam mencari kata kunci saat berselancar di dunia maya. 

Konsep 'katanya' seharusnya tidak lagi dipakai oleh kita sebagai orangtua.

Sebagai praktisi di bidang komunikasi (Public Relations) beberapa kali saya membimbing mahasiswa-wi yang sedang belajar di berbagai universitas negeri (khususnya ilmu komunikasi). Saat itulah tidak jarang mereka memberikan kesaksian bahwa apa yang saya sharing-kan tidak mereka dapatkan di kelas. 

Lebih sedih lagi ketika ada yang bilang, "Dulu saya berjuang mati-matian, pak,  untuk bisa masuk universitas negeri ini. Tapi, setelah berhasil masuk, belajar dan sekarang bertemu dengan materi-materi yang Pak Arif berikan, kok saya jadi menyesal ya ... kenapa dosen-dosen tidak memberikan materi seperti yang Pak Arif berikan?"

Saya berani mengungkapkan kalimat dia di sini karena sekarang dia - sebutlah namanya Boby, sudah lulus ... hehe. Menurut Boby, materi-materi yang saya bagikan itulah yang ia perlukan ketika kerja nanti. "Dari mana kamu tahu kalau materi ini aplikatif untuk dunia kerja?" tanya saya. "Dari senior-senior yang sudah lulus," jawabnya. 

Lain lagi dengan anak bimbingan saya di universitas negeri lain. "Masak sih pak di universitas negeri itu begitu, pak?" Dia tidak percaya ketika saya ceritakan pengakuan si Boby. Lalu, saya yakinkan dia bahwa sebaiknya dia belajar yang giat juga dengan ilmu-ilmu di luar kampus, jangan terlalu tergantung dengan pelajaran di kelas.

Begitulah kisah yang bisa saya bagi tentang sekolah negeri atau swasta. Saat ini saya hanya memercayai bahwa kualitas itu berbanding lurus dengan upaya bukan si anak didik semata tapi juga orangtua. Bagi saya, pendidikan terbaik adalah dari orangtua sendiri khususnya dalam hal pendidikan mental untuk buah hati kita dalam menghadapi biduk kehidupan ini. 

Yang paling menantang mungkin adalah menghadapi situasi yang tidak terprediksi ini.

Mental seperti apa? Mental bagaimana menghadapi kegagalan ... pun menghadapi keberhasilan (tidak sedikit yang tidak siap ketika sukses). Mental menghadapi dunia kerja nantinya serta kondisi-kondisi lain yang terus bergelombang hadir secara pasti atau terprediksi juga yang tidak terprediksi. Yang paling menantang mungkin adalah menghadapi situasi yang tidak terprediksi ini.

Saya sendiri tidak ingin memandang rendah pendidikan di sekolah swasta atau negeri, sebaliknya tidak ingin juga terlalu berharap pada keduanya. Secara pribadi saya hanya ingin terus menggali ilmu pada diri sendiri untuk bisa menjadi orangtua yang mampu memberikan yang terbaik pada anak sendiri. 

Akan amat bijak titel kesarjanaan atau level pendidikan apa pun yang diraih si anak memang adalah harapan atau passion anak, bukan ambisi orangtua. Kendati memang ada peran ambisi orangtua ... saya juga bisa paham kok ... hehe ... Asal si anak tidak stres dalam menjalani prosesnya. *

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun