Mohon tunggu...
AyahArifTe
AyahArifTe Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Ayah

Penulis dan mantan wartawan serta seorang ayah yang ingin bermanfaat untuk orang lain.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Buya Syafii, Integritas Tak Bertepi Tanpa Hedon Identitas

2 Juni 2022   08:24 Diperbarui: 2 Juni 2022   11:38 344
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto : SuaraMuhammadiyah.id

Buya Syafii Maarif wafat. Speechless ... Terbayang peristiwa nasional jelang dan di 2024 nanti akan seperti apa tanpa 'suara' Buya?

Itulah yang terpikir pertama kali di kepala saya saat mendengar berita duka pada 27 Mei 2022, "Buya Syafii wafat pukul 10.15 WIB di RS PKU Muhammadiyah, Gamping, Kabupaten Sleman dalam usia 86 tahun". Artikel ini pun akhirnya bisa saya tulis setelah sekian hari termenung tanpa ide harus menulis apa untuk ekspresikan kegundahan hati ini.

Baru ketika Senin pagi, 30 Mei, saya sedikit bersitegang dengan seorang pengemudi mobil berpakaian loreng di jalan raya muncul ide untuk menulis tentang hal yang bisa saya kaitkan dengan kepergian Buya.

Kenapa? Karena, pengemudi yang terlihat masih muda belia dengan seragam lorengnya itu awalnya ingin marah pada saya yang kemudian beralih membentak dua anak remaja tanggung 'pak ogah/polisi cepek' (pengatur lalu lintas tak resmi di jalan-jalan raya di Jakarta).  Awalnya ia kesal karena saya menggebrak kaca mobil belakangnya. Padahal saya gebrak itu bukan tanpa sebab (tentu saja!). Mobilnya mundur tiba-tiba dan merangsek ban depan motor saya yang ada tepat di belakang. Saya sudah membunyikan klakson dan berteriak tapi sepertinya tidak terdengar (karena saya pakai helm full-face) juga teriakan dari pengendara motor lain tak bisa menghentikan gerak mundur mobilnya. Secara spontan saya gebrak kaca mobilnya (karena model mobil MPV, jadi kaca belakang bisa saya raih) agar ia hentikan gerak mundur.

Saat keluar dari mobil ia sempat marah pada saya sambil melotot dan berkata, "Kenapa pukul mobil saya?" Saya jawab sambil menunjuk, "Mobil Anda mundur dan ini cover ban depan motor saya retak, lihat!" Sepertinya ia sadar kesalahan ada pada dirinya. Namun, bukan segera minta maaf ia malahan serta-merta melemparkan kesalahan itu pada dua remaja polisi cepek itu sambil membentak, "Ini gara-gara kalian!" Akhirnya saya yang malahan berusaha menenangkan dia, "Sudah ... sudah ... " Tapi bentakan demi bentakan tetap ia lontarkan. Istrinya pun di dalam mobil sudah berusaha berteriak-teriak, "Ayaah ... ayaahh sudahh .. sudaahh ..." Karena saya ada jadwal meeting kantor, saya pun ngeloyor pergi (saya pikir percuma kalau orang sudah kerasukan emosi, apalagi dengan berseragam).

Apakah dengan identitas seragam militer, mobil mewah, atau bahkan agama ... atau bahkan plat nomor khusus pejabat, seseorang berhak merasa lebih tinggi 'kasta'-nya

Tapi, selama perjalan ke kantor terpikir betapa arogan bila seseorang dengan identitas yang melekat di tubuhnya dan terlihat jelas seperti yang ada pada anak muda dengan seragam militer itu. Terbayang juga kejadian-kejadian lain di negeri ini oleh mereka yang juga berseragam terhadap rakyat biasa. Pun, pada musim mudik lalu ada seorang bapak di dalam mobil mewahnya memaki dengan kata-kata tak pantas kepada polisi lalu-lintas yang sedang mengatur arus mudik balik di sebuah jalan di Jawa Barat.

Apakah dengan identitas seragam, mobil mewah, atau bahkan agama ... atau juga plat nomor khusus pejabat, seseorang berhak merasa lebih tinggi 'kasta'-nya dan berhak melecehkan rakyat biasa bahkan terhadap seorang petugas polisi sekalipun? Apakah mereka akan bertindak sama bila mereka tidak memiliki identitas itu semua?

Sikap Rendah Hati Buya

Bagaimana hubungan dengan Buya Syafii? Saya kaitkan peristiwa di atas dengan sikap bersahaja dan rendah hati almarhum Buya Syafii Maarif. Saya terkenang pada kejadian yang pernah viral ketika seseorang mengunggah (upload) foto Buya yang sedang duduk di kursi lipat biasa (bukan di ruang VIP) dengan sabar di sebuah RS menanti antrian panggilan. Padahal rumah sakit itu adalah bagian dari organisasi yang pernah ia pimpin selama bertahun-tahun.

Foto : SuaraMuhammadiyah.id
Foto : SuaraMuhammadiyah.id

Andai saja lelaki yang lahir di Nagari Calau, Sumpur Kudus, Sumbar itu memanfaatkan identitasnya sebagai mantan Ketua Umum Muhammadiyah pasti staf RS PKU Muhammadiyah akan dengan senang hati melayani Buya dengan fasilitas VVIP. Tapi, Buya tidak lakukan itu. Pi'i (panggilan kesayangan saat ia kecil) tetap sabar menanti panggilan antrian sebagai rakyat biasa.

Padahal identitas Buya bukan biasa-biasa saja, tapi luaarrr biassaaa. Sederet jabatan mentereng pernah ada di pundaknya. Bahkan saat wafat jabatan Buya masih sebagai salah-satu penasehat khusus Presiden Jokowi. Toh Buya tetaplah Buya ... dengan segala sikap rendah hatinya.

Terbayang juga saat Buya mengkritik orang-orang yang berupaya 'menjatuhkan' Ahok dalam kasus tuduhan penistaan agama pada 2016 yang kemudian memancing hujatan dari sesama muslim terhadap dirinya. Saat itu, Buya cukup keras bersuara' "Ahok tidak menista agama Islam". Tapi, Buya tetaplah Buya dengan segala sikap rendah hatinya ketika akhirnya Ahok dijatuhi vonis bersalah dan dihukum penjara selama dua tahun ia tetap tenang meski ada rasa kecewa mendalam.

... Buya tetaplah Buya ... dengan segala sikap rendah hatinya.

Buya juga bersuara keras ketika Presiden Jokowi terlihat 'pasrah' pada kejadian tes beberapa pegawai KPK yang kontroversial itu.  Tapi, Buya tetaplah Buya ... ia geram tapi tetap menghormati apa yang sudah terjadi.

Cendikiawan muslim terkemuka ini bahkan tidak marah ketika ia dicap sebagai bagian dari kelompok Islam liberal hanya karena ia memberi sebutan kelompok FPI saat itu (sebelum dibubarkan) sebagai 'preman berjubah' yang kemudian istilah itu ramai dipakai oleh para penganut liberalisme.

Antara Foto/Regina Safri
Antara Foto/Regina Safri

Buya juga tidak terpancing emosi untuk membalas kritikan seorang kritikus yang selalu bangga dengan istilah 'akal sehat'-nya. Buya tetaplah Buya ... (mungkin Buya paham bahwa si tokoh itu di kampus dan oleh mahasiswa serta para alumninya sudah dipandang sebelah mata, jadi buat apa diladeni - toh dia terkenal hanya karena selalu diundang sebagai narasumber oleh sebuah stasiun televisi swasta saja ... di stasiun tv lain sudah tak laku ... hehe).

Pemikiran Buya tentang keislaman, kebangsaan dan toleransi sudah melebihi akal sehat. Ia meraih gelar-gelar akademis (master hingga profesor) bukan hanya di dalam negeri. Ia dikenal sebagai trio Chicago bersama Nurcholis Madjid dan Amin Rais. Jadi, saya setuju dengan sikap Buya yang tak indahkan kritik si 'yang katanya ber-akal sehat' (bahkan orang itu suka men-dungu-kan orang lain, padahal sepertinya ia yang begitu).

"Dalam konsep suatu negara Islam pada waktu ini tempat hukum syari'ah tidak saja masih jauh dari selesai, tetapi belum diketahui betul porsi dan bagian yang mana dari hukum ini yang bisa lolos bila diuji dengan prinsip-prinsip moral dan etik al-Quran. Karena alasan inilah, maka menjadi mutlak perlu bagi syari'ah untuk menjelaskan posisinya sebelum memasuki wilayah teori konstitusional tentang negara."

Demikian penggalan salah-satu pemikiran Buya dalam bukunya yang berjudul "Islam dan Pancasila sebagai Dasar Negara: Studi tentang Perdebatan dalam Konstituante." Buku-buku lain pun mengisyaratkan keteguhan sikap Buya terhadap kebangsaan dan keislamannya. Tapi, Buya tetaplah Buya ... yang tak ingin memaksakan pemikirannya harus diterima semua kalangan. Ia hanya mengingatkan berdasarkan ilmu yang telah pelajari dan juga berbasis pemahaman terhadap isi Alquran serta kitab-kitab pendukung lain.

Buya juga dikenal sebagai tokoh sentral 'pemersatu' Muhammadiyah dan NU bersama Gus Dur. Dua organisasi kemasyarakatan Islam terbesar dan dominan di Tanah Air yang sempat seperti mau 'diadu' oleh kekuasaan Orde Baru dulu. 

Dengan peran dan pemikiran sehebat itu tak membuat Buya menjadi hedon identitas (orang yang bangga berlebihan dengan identitas jabatan, seragam serta fasilitas-fasilitas mewah lainnya). Bagi Buya sepertinya tak ada istilah 'mentang-mentang' dalam kamus hidupnya. Tak seperti mereka yang petantang-petenteng dengan identitas seragam, agama, profesi, jabatan atau plat mobil atau bahkan mobil mewahnya.

Buya mungkin bisa disejajarkan dengan Bung Hatta, Buya Hamka, Hoegeng serta Baharuddin Lopa. Mereka orang-orang langka di negeri ini yang punya prestasi dan pemikiran luarrr biassaaa ... tapi hidup sebagai orang biasa bahkan tak ingin mendapatkan fasilitas VVIP yang sebenarnya memang pantas mereka dapatkan. Kita sudah pernah mendengar atau membaca kisah sepatu Belly impian Bung Hatta, kisah mundurnya Buya Hamka sebagai Ketua MUI padahal dia yang mendirikan, kisah kejujuran Hoegeng serta kisah keberanian Baharudin Lopa melawan bandar-bandar judi serta keteguhannya menjaga integritas pada hal kecil seperti melarang mobil dinas dipakai oleh istri meski hanya ke pasar.

Kita pasti amat merindukan perilaku jujur, bersahaja dan sederhana seperti mereka. Kepergian Buya Syafii menambah kelangkaan orang-orang yang tidak mengalami hedon identitas di negeri ini. 

Bila saja oknum militer yang membentak dua bocah 'polisi cepek' yang berjumpa saya itu pernah atau mau meneladani sikap Buya Syafii tentu ia tak perlu bersikap arogan. Tapi ... mereka tetaplah mereka ... Kita hanya bisa mengingat Buya Syafii serta tokoh-tokoh langka di negeri ini dalam kenangan tak bertepi ... 

Selamat jalan, Buya ... Lahul Fatiha ... 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun