"Yah, ini kan lagi buka puasa. Kenapa sih bahas masalah hidungku?"
"Ya, Ayah hanya ... "Â
Belum tuntas kalimat itu, anakku, Fathan, sudah bangkit dari sofa tempat kami duduk dan pergi ke kamarnya sambil bergumam tak tentu. Untungnya tidak banting pintu kamarnya.Â
Saya pun hanya bisa menatap punggungnya dan tertegun sambil mulut terus mengunyah kurma.Â
"Apa salah saya?" saya membatin. "Saya 'kan hanya mengungkapkan rasa khawatir dengan kondisi hidungnya yang seperti pilek tapi tidak ada apa-apa. Sudah lama kondisinya seperti itu yang memang ada gejal sinusitis. Orangtua mana yang tidak resah?"
"Apakah salah ayah bertanya pada anaknya yang seperti sedang mengidap penyakit? Tidak ada yang salah toh? Saya benar, kan?"
Saya pun beranjak dari sofa menuju kamar mandi yang hanya beberapa langkah untuk berwudhu. Dekat pintu kamar mandi, saya sempat berhenti dan coba menguping ke pintu kamar Fathan yang memang dekat dengan kamar mandi.Â
"Hmm ... tidak ada isak tangis. Baguslah. Semoga dia menyadari bahwa yang terjadi barusan merupakan rasa sayang seorang ayah pada anaknya."
Saya pun masuk ke kamar mandi. Mulai buka keran air untuk berwudhu. Nah, di saat bersuci itulah kok pikiran berkelebat lagi.Â
"Tapi, apa saya sudah benar ya? Kalau dipikir-pikir memang saya suka random sih. Mungkin bukan momen yang tepat saya membicarakan soal hidungnya yang bermasalah itu. Duh ... salah ya? Terus, saya harus minta maaf gitu? Walah ... masa sih? Saya kan ayahnya. Dan dia anak laki-laki. Gengsi ah. Mau ditaro di mana wibawa saya sebagai seorang ayah?"