Mohon tunggu...
AyahArifTe
AyahArifTe Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Ayah

Penulis dan mantan wartawan serta seorang ayah yang ingin bermanfaat untuk orang lain.

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

I'tikaf Ganjil Genap (GaGe), Hitung-hitungan Pahala?

6 April 2022   15:09 Diperbarui: 6 April 2022   15:13 1863
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bro, nanti malam bareng ya berangkat i'tikaf di mesjid seperti kemaren malam.

Besok malam aja, bro. Malam ini kan malam genap.

Loh, kenapa emang kalau genap?

Lebih besar pahalanya kalau malam ganjil, bro. Masa gak tau sih, lu?

Percakapan dua masbro di atas mungkin pernah Anda dengar. Mungkin juga Anda adalah salah-satu tokohnya. Entah sebagai yang pro dengan ganjil-genap i'tikaf di masjid atau yang kontra (dalam arti tak peduli ganjil genap).  

Sedikit info tentang i'tikaf. Secara fiqh, i'tikaf bermakna berdiam di dalam masjid untuk beribadah serta amalan-amalannya dan disertai niat. Asal katanya sendiri dari kata 'akafa' yang bermakna 'memenjarakan'. Apakah i'tikaf wajib atau sunnah? Secara syariat bisa keduanya.

I'tikaf sunnah dilakukan secara sukarela semata-mata untuk mendekatkan diri dan mengharapkan ridha Allah SWT.  I'tikaf 10 malam terakhir pada Ramadhan di masjid adalah salah-satu contohnya. Sementara i'tikaf menjadi wajib apabila diawali nazar (janji). 

Apa landasan i'tikaf? Ada dua hadits. Yang pertama, “Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa beri'tikaf di sepuluh hari terakhir Ramadhan.” (HR. Bukhari).

Hadits lain dari ‘Aisyah, ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri'tikaf pada sepuluh hari yang akhir Ramadhan hingga wafatnya kemudian isteri-isteri beliau pun beri’tikaf setelah kepergian beliau.”

Amat kuat landasan syariat dan tujuan i'tikaf tersebut, 'kan? Namun, seiring perjalanan zaman, saya merasa makna i'tikaf mulai ber-'metamorfosis'. Mulai dari yang pasang tenda-tenda camping  bersama keluarga (dipelopori oleh Masjid Habiburahman Bandung sejak 1998) hingga orangtua yang tidak segan-segan membawa kasur lipat lengkap dengan bantal ke dalam masjid agar anak-anak mereka ikut beri'tikaf. 

Saya tak ingin membahas fenomena tersebut. Saya lebih tertarik mengangkat fenomena i'tikaf ganjil genap seperti yang percakapan dua pemuda di awal artikel ini. Karena sudah menjadi rahasia umum kalau peserta i'tikaf lebih ramai pada malam-malam ganjil ketimbang malam genap. Kenapa begitu? Yang saya tahu banyak orang mengejar keberkahan Malam Lailatul Qadar yang ditengarai kemungkinan besar ada di malam-malam ganjil pada 10 malam terakhir Ramadhan. 

Saya tergolong orang yang tak peduli dengan apakah malam ganjil atau genap kalau mau beri'tikaf. Yang saya pahami kalau kita mau beri'tikaf ya tak perlu hitung-hitungan. Siapa lah kita ini mau hitung-hitungan dengan Zat Yang Maha Segala? Apa yang saya sudah terima setiap hari setiap detik setiap hirupan udara saja saya sudah tak sanggup untuk menghitungnya.

Saya pun masih belum telaten dalam beri'tikaf. Tidak setiap Ramadhan. Kalau pun beri'tikaf, saya masih merasa kurang dalam melakukan amalan-amalannya. Dengan begitu tak adil rasanya jika saya hanya ingin i'tikaf di malam-malam ganjil saja. 

Apakah mereka yang sudah merasa melakukan cukup banyak amalan selama i'tikaf berhak untuk hadir hanya malam-malam ganjil saja? Saya tak yakin sih. Pun apakah orang yang sekaliber ulama punya hak merasa pasti mendapatkan keberkahan Malam Lailatul Qadar? Saya juga tak yakin. 

Banyak ulama yang memang mengatakan bahwa keberkahan Malam Lailatul Qadar kemungkinan besar ada di malam-malam ganjil di antara 10 malam terakhir Ramadhan. Ciri-cirinya pun banyak ulama sudah sering ungkapkan di berbagai kesempatan.

Namun, tetap saja keberkahan Malam Lailatul Qadar -sepanjang yang saya tahu - adalah 'hak prerogatif' dan rahasia Allah untuk dilimpahkan kepada siapa. Jadi, bagi saya, tak satupun orang berhak mengklaim telah mendapatkan keberkahan malam mulia itu. 

Dengan begitu, masih relevan kah beri'tikaf di malam-malam ganjil saja? Kalau mendapatkan pertanyaan itu saya pasti menjawab tidak relevan. Bagi saya soal ganjil-genap (ga-ge) hanya relevan pada aturan lalu-lintas di Jakarta pada pagi dan sore hari untuk kendaraan roda empat saja. Kalau kata almarhum Gus Dur, "Gitu aja kok repot?" Lalu, saya tambahkan, sama Allah kok hitung-hitungan?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun