Mohon tunggu...
AyahArifTe
AyahArifTe Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Ayah

Penulis dan mantan wartawan serta seorang ayah yang ingin bermanfaat untuk orang lain.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Seperti Apa Mental Anak Jelang UTBK-SBMPTN?

16 Maret 2022   14:26 Diperbarui: 18 Maret 2022   11:01 855
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kamu sudah siap?"

"Sudah siap, Bundaa."

"Siap apa?"

"Siap UTBK."

"Yakiin ...?"

"Nggak sih ... hehehe ... "

Percakapan di atas hanya ilustrasi antara seorang ibu dengan anaknya yang duduk di kelas 3 SMA yang akan hadapi UTBK-SMBPTN. Sudah menjadi rahasia umum yang ketar-ketir bukan hanya para pelajar, tapi orangtua pun ikut 'sport jantung'. Karena orangtua berpikir bahwa pilihan perguruan tinggi bagi si anak akan menentukan masa depannya.

Pikiran yang salah? Tentu banyak yang akan menjawab "Tidak". Dulu, saya pun begitu. Saat masih jadi anak SMA juga. Tapi, saat itu saya harus memilih sendiri, karena ayah saya sudah meninggal saat itu. Sementara ibu tidak tahu-menahu soal perkuliahan.

Foto : MI/Sutanto
Foto : MI/Sutanto

Akhirnya saya pilih akademi yang murah meriah -- atas saran seorang teman. Kebetulan akademi tersebut di bawah sebuah departemen (sekarang kementerian). Artinya, masih milik pemerintah, yang dengan kata lain, murah! Dua setengah tahun kemudian, saya memutuskan untuk ambil kuliah lagi di perguruan tinggi negeri di Depok, Fakultas Sastra (sekarang FIB). Alasannya, lagi-lagi ... murah!

Apakah dua pilihan perguruan tinggi itu berpengaruh pada saya di kemudian hari? "Sangat!" Itu jawaban saya dulu. Tapi, kemudian setelah saya piklr-pikir lagi. Ternyata, bukan pilihan itu yang menentukan jalan hidup saya di kemudian hari. Apa dong?

Perenungan ini terjadi ketika saya berminat untuk menulis Topik Pilihan di Kompasiana tentang UTBK-SMBPTN. Perlu waktu berhari-hari untuk sampai pada ide tulisan sekarang ini. Hasil perenungan itu adalah ternyata adalah 'winning mentality' atau mental pemenang yang berpengaruh besar terhadap jalan hidup saya hingga hari ini. Mental itu saya peroleh ketika saya jalankan bisnis MLM.

Tanpa sadar langkah-langkah sukses (khususnya baca buku) berbisnis MLM itu telah mengubah mindset saya tentang apa yang sudah, sedang dan akan terjadi pada hidup saya. Kenapa saya bilang tanpa sadar? Karena saya baru menyadari saat akan membuat tulisan terkait Topik Pilihan UTBK-SMBPTN.

Saat itulah saya tidak lagi menganggap pilihan berkuliah di akadami sebuah kementerian itu dulu adalah suatu hal yang useless karena saya pilih secara pasrah. Begitu juga dengan berkuliah di Fakultas Sastra. Semua itu menjadi jejak basic karier saya hingga detik ini.

Lalu, apakah mental pemenang itu? Secara tersirat pernah saya bahas di tulisan saya yang lain (di sini) meski tidak spesifik tentang mental pemenang. Namun, saya berpendapat bahwa menanamkan winner mentality kepada anak-anak kita sangat urgent untuk zaman sekarang. Apalagi mental crazy rich yang membuncah dalam 1 dekade belakangan ini (bahkan baru-baru ini beberapa oknum menjadi tersangka dan dipenjara).

Photo by Nataliya Vaitkevich from Pexels
Photo by Nataliya Vaitkevich from Pexels

Teori dan contoh mental pemenang sebenarnya bertebaran di berbagai media. Di artikel ini, saya mencoba untuk membeberkan secara singkat saja (ini pun bukan pemikiran murni saya -- hanya pernah baca dan mendengar serta menyaksikan di berbagai media);

  • Berprasangka baik terus-menerus.

Mental ini bagi saya sendiri pun masih terus saya asah dan belajar untuk tetap konsisten. Banyak orang sukses ternyata mental utamanya ya ini. Kebetulan dulu saya pernah menjadi wartawan di sebuah surat kabar berbahasa Inggris dan mendapatkan tugas mewawancarai banyak CEO yang peraih penghargaan Ersnt & Young Award. Dari situ saya belajar banyak tentang kesuksesan.

  • Terus mencoba, jangan alergi dengan kesalahan.

Banyak orangtua yang selalu takut anaknya berbuat salah, sehingga selalu melarang ini-itu. Padahal, sikap berani mencoba dan berbuat salah adalah bagian perjalanan sukses. Kita tidak akan pernah tahu sesuatu itu benar kalau kita tidak pernah mencoba, bukan? Berbekal kesalahan kita akan berinovasi dan berkreasi agar tercapai atau menemukan cara yang benar.

  • Jadikan pengalaman orang lain sebagai guru terbaik.

Selalu membaca, nonton atau mendengar kisah-kisah orang sukses adalah salah-satu sikap/mental pemenang. Kisah-kisah seperti ini saat ini mudah sekali ditemui di berbagai media digital. Sebagai orangtua pun tak ada salahnya turut membaca, nonton kisah-kisah ini agar bisa diceritakan kepada anak-anak kita.

  • Terus merasa hijau, jangan pernah merasa matang (akan cepat busuk ... hehe)    

Dengan kata lain, terus belajar dan belajar sepanjang hidup. Banyak orang yang sudah usia lanjut masih tetap menggali ilmu.

  • Fokus pada kemampuan diri, bukan silau pada kemampuan orang lain.
  • Setiap pribadi pasti memiliki keunikan sendiri. Sehingga bila ada dua orang mendapatkan ilmu dan kecerdasan yang sama, hasilnya bisa berbeda. Lucunya, sebagai orangtua, tak jarang ada kecenderungan membandingkan kemampuan anaknya dengan anak lain.

Cukup lima ini saja, saya rasa. Selebihnya bisa dikembangkan sendiri. Yang penting untuk diingat adalah mental pemenang sebaiknya dimiliki/dijalankan juga oleh orangtua. Jadi sifatnya bukan 'perintah' kepada anak, tapi 'ajakan' yang dengan kata lain orangtua dan anak bermitra dalam menuju mental pemenang ini. Tentu akan lebih asyik.

Memang hal ini tak mudah. Saya harus akui. Saya sendiri alami hal ini dengan anak saya. Tapi, saya terus mencoba dan terus berinovasi dan berkreasi. Misalnya, ketika anak saya terjangkit game (pasti banyak anak-anak alami ini). Saya tidak langsung melarang. Saya justru pelajari game itu dan saya temukan hal-hal positif, yaitu tentang team work dan ada potensi menggali winner mentality.

"Ayah akan izinkan kamu main game ini, tapi kamu harus ikut kompetisi-kompetisi!" kata saya ketika itu. Anak saya pun akhirnya berkelana dari satu kompetisi ke kompetisi. Kadang-kadang dia kasih laporan, "Yah, aku menang nih ... dapet sertifikatnya ini."

Apakah saya cemas dengan kegemarannya ini? Ya, ada .... Namun, saya masih terus memantaunya. Khususnya mental pemenangnya. Misalnya, suatu hari ia bertanya soal bagaimana caranya supaya postur tubuhnya bisa lebih tinggi karena ia suka minder dengan postur tubuh teman-temannya yang besar-besar. Lantas saya bilang, "Coba pikirkan apa yang kamu miliki dan teman-teman kamu tidak miliki?"

Lalu dia jawab, "Iya sih, aku bisa main banyak alat musik."

"Nah, fokuslah pada hal itu. Tidak banyak anak lain yang bisa mainkan alat musik sebanyak kamu bisa!" jawab saya. Raut wajahnya pun jadi berubah lebih senang dan optimis.

Jadi, menurut saya, mempersiapkan pilihan perguruan tinggi memang penting. Namun, ada baiknya siapkan juga mental pemenang pada anak-anak. Sehingga ia tak perlu merasa down saat ia tidak bisa lolos ke perguruan tinggi idamannya. Pun, mental pemenang ini akan amat berpengaruh pada dirinya kelak saat mengarungi dunia kerja sesungguhnya.

Setidaknya, kita tak akan menemukan jawaban "Nggak sih ..." seperti ilustrasi percakapan ibu-anak di awal tulisan ini. 

Ini hanya pendapat pribadi saya yang mungkin saja memang cocok atau tidak cocok bagi orang lain. Kebetulan anak saya sudah melewati masa itu. Saya berharap tulisan ini bisa memberi masukan yang bermanfaat. Salam pemenang!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun