"Survei bebas membantu menguji mutu data"
(Andi Hakim Nasoetion)
Â
Setelah lebih dari satu semester beroperasi, sistem One Data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mulai mengaktifkan menu validator daerah. Validator daerah ini memiliki kewenangan melakukan penyesuaian data produksi yang dihasilkan melalui sistem One Data dengan cara menyesuaikan angka aggregate atau time series.Â
Secara ringkas kedua penyesuaian itu dilakukan melalui penggantian angka versi One Data dengan angka versi validator daerah. Angka yang diganti bisa berupa angka populasi yang digunakan sebagai raising factor, angka produktivitas, maupun angka produksi secara langsung.
Berdasarkan cara kerja validator daerah tersebut, sedikitnya akan muncul dua pertanyaan dalam pelaksanaannya. Pertama, apakah tingkat akurasi angka produksi versi One Data itu rendah sehingga perlu diganti dengan angka lain versi validator daerah?Â
Kedua, andai validator daerah akan mengganti salah satu dari ketiga variabel yang boleh disesuaikan, dengan data yang bersumber dari manakah angka pengganti tersebut? Untuk dapat memberikan jawaban atas kedua pertanyaan di atas, kita perlu sedikit mengulas kedudukan survai yang secara umum mendominasi One Data dalam kerangka pengetahuan ilmiah.
Kalau kita pelajari sejarah survei dalam konteks statistik resmi pemerintah, misalnya dalam makalah The Rise of Survey Sampling, maka kita akan sampai pada pengetahuan bahwa survei berkembang lebih akhir daripada sensus. Survei umumnya digunakan untuk mengurangi peran sensus yang memang membutuhkan banyak waktu, tenaga, dan biaya.Â
Padahal, dalam penyelenggaraan pemerintahan, hampir pasti ketiga sumber daya tersebut relatif terbatas, apalagi bagi negara berkembang seperti Indonesia. Memaksakan sensus setiap tahun, andaipun bisa dilakukan, akan menguras anggaran yang besar dan bisa jadi akan melebihi anggaran untuk pembangunan. Oleh karena itu, pelaksanaan survei seolah-olah menjadi satu-satunya pilihan untuk mengetahui karakter populasi.
Walaupun memiliki unsur ketidakpastian karena hanya berdasarkan pada sampel, survei yang dirancang dengan baik merupakan penduga tidak bias bagi karakter populasi. Memang hampir mustahil angka yang diduga melalui survei bisa tepat 100% seperti angka pada populasi, tetapi hasil survei mampu memberikan gambaran tentang populasi secara memadai. Selain itu, sebagai salah satu perangkat dalam sains, survei yang bersandar pada kaidah statistika dapat menghasilkan pengetahuan yang diyakini kebenarannya.
Lantas, apakah kebenaran informasi yang dihasilkan melalui survei bersifat mutlak? Tentu saja suatu survai tidak menghasilkan informasi yang mutlak benarnya, bahkan dengan meminjam istilah dalam buku Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar populer, bisa kita katakan bahwa survei tidak pernah memiliki tendensi untuk menjadi kebenaran mutlak, kebenaran informasi dari suatu survei sebatas kebenaran yang bisa dipertanggungjawabkan.Â
Karena sifat kebenarannya bukan mutlak, informasi yang bersumber dari survei diterima sebagai informasi yang benar, hingga ada bukti lain yang lebih kuat menunjukkan hal yang berbeda.
Bersandar pada uraian di atas, apabila angka produksi versi One Data dihasilkan melalui survei yang didesain dengan baik, maka angka produksi itu harus diterima sebagai angka yang benar hingga ada bukti lain yang lebih kuat untuk menyangkalnya. Sebaliknya, kalau tidak ada bukti yang lebih kuat, maka tidak ada alasan untuk tidak mempercayai atau mengganti angka versi One Data.Â
Dari sini pula pertanyaan pertama bisa diberikan jawaban bahwa validator daerah dapat memutuskan untuk melakukan penyesuaian angka produksi versi One Data asalkan validator daerah memiliki bukti yang lebih kuat daripada bukti yang diberikan One Data.
Bukti kuat ini tentu terkait dengan sumber data. Dalam hal ini, lazimnya ada 3 cara untuk mendapatkan data, yaitu: sensus, survei, dan register administratif. Secara umum, dengan asumsi bahwa ketiga cara mendapatkan data tersebut diselenggarakan secara ideal, maka sensus dan register administratif memiliki tingkat akurasi yang lebih tinggi daripada survei.
Nah, dalam konteks validasi One Data, tibalah kita untuk menjawab pertanyaan kedua terkait sumber data yang lebih kuat untuk menyesuaikan angka produksi versi One Data. Variabel pertama yang bisa disesuaikan adalah variabel yang digunakan sebagai raising factor pada tingkat populasi, misal luas lahan perikanan budidaya di tingkat populasi.Â
Sumber data paling akurat untuk luas populasi tentu saja data sensus yang selalu dimutakhirkan atau register administratif apabila semua RTP melaporkan luas lahannya. Kemungkinan besar register administratif belum dilaksanakan di kabupaten/ kota. Demikian juga pemutakhiran data sensus setiap tahun atau setidaknya 2 tahun sekali, peluang pelaksanaannya hanya pada kabupaten/ kota dengan populasi RTP relatif sedikit.
Bagian terbanyak dari kabupaten/ kota kemungkinan dalam jangka 10 tahun sekalipun, belum tentu bisa memutakhirkan data seluruh RTP. Oleh karena itu, apabila tidak tersedia data sensus RTP yang dimutakhirkan atau register administratif, maka sumber bukti yang bisa digunakan untuk mengoreksi angka luas lahan populasi adalah hasil survei pertumbuhan/ pengurangan luas lahan yang dilaksanakan oleh dinas perikanan. Survei juga menjadi sandaran untuk mendapatkan data dua variabel lainnya yang bisa disesuaikan, yaitu: produktivitas dan angka produksi.Â
Oleh karena itu, untuk memberikan keyakinan kepada pengelola One Data, penyesuaian yang dilakukan berdasarkan survei setidaknya perlu didukung dengan informasi metadata survei tersebut. Dalam hal ini, pengelola One Data bisa mengadopsi Formulir Pemberitahuan Survei Statistik Sektoral yang digunakan BPS, tentu dengan beberapa penyesuaian agar lebih relevan.
Metadata ini menurut saya merupakan data dukung terlemah yang bisa diterima oleh pengelola One Data apabila berkomitmen untuk memiliki data produksi yang berkualitas, bukan sebatas tersedia data produksi. Setidaknya informasi dalam metadata dapat menjadi bahan untuk menimbang seberapa berkualitas survei yang dilaksanakan One Data dengan survei bebas dari dinas perikanan.Â
Kalau ternyata lebih berkualitas survei One Data, tentu penggantian data oleh validator daerah tidak perlu disetujui, tetapi bisa juga pengelola One Data memberi kesempatan banding kepada validator untuk mempresentasikan sistem surveinya dengan lebih lengkap.
Sebaliknya, kalau pengelola One Data menilai survei dinas lebih berkualitas, rasanya tidak ada alasan juga untuk tidak menyetujui penyesuaian oleh validator daerah.Â
Dari semua itu, karena sifat sains adalah tidak otoriter, maka tidak nyaman juga kalau hanya pengelola One Data yang boleh menilai kualitas survei bebas di luar dirinya, namun akan lebih ideal lagi andai metadata One Data bisa diakses oleh validator daerah, sehingga sebelum memutuskan melakukan penyesuaian, validator daerah juga bisa menimbang posisi relatif kualitas cara mendapatkan datanya dibanding dengan One Data.
Bagaimana pendapat Anda?
Selesai ditulis di Tulungagung, 8 September 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H