"Spell out the truth behind place like Indonesia
where the statistics look so good and the reality so bad"
(The Secret History of The American Empire: Economic Hit Man, Jackals, and Truth About Global Corruption) Â
Dari beberapa diskusi dengan sebagian rekan, terlihat munculnya sikap skeptis terhadap statistik perikanan  budidaya --skeptisme yang sama sebenarnya juga dirasakan terhadap data statistik perikanan tangkap dan pengolahan terlebih lagi ketika Menteri Kelautan dan Perikanan sendiri mengemukakan bahwa masih terjadi persoalan akurasi perhimpunan data perikanan (Kompas, 15 Februari 2012). Dari tahun ke tahun, angka produksi mesti naik sesuai target, bahkan bisa jadi lebih tinggi dari target. Tidak peduli target tersebut dinaikkan secara moderat ataupun progresif, hampir pasti selalu dapat dicapai.
Saya tidak anti terhadap keberhasilan pemerintah dan malah senang kalau pemerintah sukses membangun subsektor perikanan budidaya sehingga meningkatkan pendapatan pembudidaya ikan, yang menyebabkan saya masih ragu adalah tidak adanya penjelasan yang memadai bagaimana suatu target produksi moderat dapat dicapai dan strategi apa yang sifatnya determinan dalam pencapaian target produksi progresif sebagaimana pernah saya singgung dalam artikel Betapa Hebatnya Strategi Perikanan Budidaya Kita.
Di sisi lain yang menyebabkan timbulnya sikap skeptis terhadap statistik perikanan budidaya adalah proses pengambilan, pengolahan, maupun penyajian data sangat rentan dengan konflik kepentingan setiap instansi baik Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten/ Kota, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi, maupun Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya (DJPB). Sehingga dengan meminjam pernyataan Brandes sangat mungkin terjadi bahwa banyak angka yang disusun merupakan data yang mendukung kepentingan dan pandangan penyusunnya.
Konflik kepentingan ini disebabkan oleh kegunaan statistik --khususnya data produksi ikan budidaya-- adalah sebagai ukuran prestasi kinerja dari setiap instansi di atas, bahkan peningkatkan produksi perikanan budidaya merupakan satu-satunya program DJPB. Padahal data produksi tersebut dihasilkan secara internal sehingga dapat diartikan juga bahwa statistik perikanan budidaya merupakan self assessment terhadap kinerja instansi di atas.
Dalam pemerintahan yang telah menerapkan good governance secara memadai, self assessment memang menjadi pilihan yang mangkus dan sangkil, tetapi sebaliknya dalam situasi kelemahan kelembagaan penerapan self assessment hanya akan menempatkan statistik --mengadopsi pemikiran Benjamin White-- sebagai praktik ukur mengukur yang lebih menyerupai masalah politis daripada masalah teknis.
Dengan kondisi di atas, bagaimana kita dapat kembali menempatkan statistik perikanan budidaya dalam bentuk aslinya, yaitu sebagai penduga tak bias dari kondisi nyata perikanan budidaya? Solusinya tentu harus mengembalikan statistik perikanan budidaya ke dalam khitahnya, yaitu alat untuk menarik kesimpulan yang benar. Kesimpulan yang benar hanya dapat diperoleh dengan metode yang valid oleh petugas yang jujur, tidak hanya petugas yang mengumpulkan data, tetapi termasuk juga petugas pengolah data dan petugas yang membubuhkan tanda tangannya sebelum statistik perikanan budidaya dipublikasikan.
Memang menempatkan kejujuran sebagai prasyarat petugas statistik adalah ketentuan normatif yang sulit untuk dikontrol oleh pihak lain di luar dirinya. Walaupun sifatnya hanya normatif dan seruan moral, tetapi tanpa kejujuran ini metode statistik yang baguspun tidak lagi menjadi berarti. Oleh karena itu, kita tetap perlu mengingatkan kepada semua petugas statistik perikanan budidaya di Indonesia bahwa mereka adalah pemeluk ajaran agama tertentu yang di setiap agamanya senantiasa diperintahkan melakukan kejujuran sebagai lawan dilarangnya sebuah kedustaan.