Sudah sangat banyak kritik tentang pembangunan ekonomi yang disandarkan pada ekspor, selain karena faktor pengabaian pasar dalam negeri, kemandirian ekonomi juga tidak dapat diwujudkan karena pertumbuhan ekonomi tergantung oleh faktor di luar negeri. Pola seperti ini juga menuntut pengembangan komoditas budidaya mahal yang padat modal sehingga pelakunya bukan merupakan bagian terbesar dari masyarakat perikanan. Dalam kondisi yang tidak ada gejolak, ekspor ekonomi memang menghasilkan pertumbuhan yang cepat, tetapi karena melibatkan sedikit masyarakat perikanan maka dampak pemerataan akan terabaikan.
Oleh karena itu, dalam strategi industrialisasi perikanan budidaya KKP tidak hanya berpedoman pada peluang ekspor dan potensi budidaya, tetapi lebih terkonsentrasi pada upaya untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi sekaligus pemerataan pendapatan bagi masyarakat perikanan. Dengan melihat realita di masyarakat, khususnya masyarakat pedesaan yang merupakan pelaku utama produksi perikanan, kita akan mendapati bahwa surplus yang terjadi bukanlah surplus modal tetapi surplus tenaga kerja, sehingga strategi industrialisasi perikanan budidaya pada tahap awal seharusnya dititik beratkan pada upaya menyediakan ikan untuk konsumsi masyarakat luas di dalam negeri --bukan hanya kebutuhan konsumsi golongan atas- melalui pemilihan komoditas budidaya yang tidak membutuhkan modal besar tetapi melibatkan masyarakat perikanan dalam jumlah banyak.
Sedikitnya terdapat enam komoditas budidaya yang memenuhi kriteria tersebut, yaitu rumput laut, bandeng, ikan mas, nila, lele dan patin. Tetapi, apabila kemampuan KKP untuk level nasional masih belum memungkinkan untuk menggarap semua komoditas tersebut dalam industrialisasi perikanan budidaya, penentuan komoditas prioritas dapat dilakukan dengan mempertimbangkan economic of scale baik dari sisi volume produksi maupun kesatuan wilayah geografis.
Pertimbangan  economic of scale ini sangat penting terutama untuk menumbuhkan industri di sektor hulu dan hilir yang sinergis. Pengembangan dalam wilayah administratif yang kecil seperti kabupaten memang bisa mencapai skala ekonomi, tetapi hanya terbatas pada on farm saja bukan skala ekonomi keseluruhan bagi industrialisasi perikanan budidaya. Dengan demikian, tanggung jawab pengembangan bisa jadi lebih luas daripada batas wilayah administratif pemerintahan.
Sebagai contoh, apabila dengan pertimbangan economic of scale KKP memilih empat komoditas prioritas yang dikembangkan maka wilayah pengembangan industrialisasi perikanan budidaya sesuai Peta Sentra Produksi Perikanan Budidaya Tahun 2010 adalah  sebagai berikut: industrialisasi rumput laut dengan wilayah pengembangan meliputi pulau Jawa, Bali, NTB, NTT, Sulawesi dan Maluku, industrialisasi bandeng dengan wilayah I di Pulau Jawa dan wilayah II terdiri dari Kalimantan dan Sulawesi, industrialisasi ikan mas dengan wilayah pengembangan Sumatera, Jawa, Bali, dan NTB, serta industrialisasi nila dengan wilayah pengembangan Sumatera dan Jawa.
Arah industrialisasi seperti di atas dapat memenuhi seluruh tujuan dari pembangunan ekonomi, yaitu penyediaan konsumsi dalam negeri, pertumbuhan ekonomi sekaligus pemerataan pendapatan. Kalaupun kemudian melakukan ekspor, maka ekspor tersebut semata-mata merupakan konsekuensi dari kelebihan produksi di dalam negeri. Demikian juga pengembangan komoditas budidaya yang cenderung padat modal seperti ikan ekonomis tinggi -kerapu, kakap, gurami dan udang- akan menjadi pilihan strategi industrialisasi perikanan budidaya pada tahap selanjutnya ketika masyarakat telah memiliki pendapatan yang meningkat dan merata sebagai hasil dari strategi industrialisasi yang pertama.
Bagaimana pendapat Anda?
Selesai ditulis di Tulungagung, 15 Desember 2011
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H