Prinsip prinsip di dalam penyelesaian sengketa dalam perbankan syariah merupakan aspek penting yang memerlukan perhatian khusus, mengingat kompleksitas hubungan hukum dan prinsip-prinsip syariah yang mendasari transaksi perbankan tersebut. Dalam konteks perbankan syariah, sengketa seringkali berhubungan dengan perbedaan interpretasi terhadap kontrak atau perjanjian, penyimpangan terhadap prinsip syariah, atau bahkan ketidaksesuaian dengan peraturan yang berlaku. Oleh karena itu, penting untuk memahami prinsip dasar yang menjadi landasan dalam penyelesaian sengketa di sektor ini. Artikel ini akan membahas prinsip dasar penyelesaian sengketa dalam perbankan syariah, yang mencakup aspek hukum, etika, dan prosedural.
1. Prinsip Keadilan.
Prinsip pertama yang menjadi dasar dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah adalah keadilan (al-adl). Keadilan dalam perspektif syariah mengacu pada perlakuan yang adil terhadap semua pihak yang terlibat dalam sengketa. Dalam konteks perbankan syariah, ini berarti bahwa semua pihak---baik nasabah, bank, maupun pihak ketiga---harus diperlakukan dengan adil dan tanpa diskriminasi. Penyelesaian sengketa harus berdasarkan prinsip kejujuran, transparansi, dan saling menghormati, dengan tujuan untuk mencapai solusi yang tidak merugikan salah satu pihak secara tidak wajar.
Dalam praktiknya, penyelesaian sengketa perbankan syariah tidak hanya bergantung pada hukum positif, tetapi juga harus memperhatikan prinsip moralitas yang terkandung dalam ajaran Islam. Oleh karena itu, jika terjadi sengketa, penyelesaian harus mengedepankan keadilan substansial dan tidak semata-mata formalitas hukum.
2. Prinsip Musyawarah.
Musyawarah atau konsultasi (shura) adalah prinsip kedua yang diutamakan dalam penyelesaian sengketa dalam perbankan syariah. Prinsip ini merujuk pada ajaran Islam yang mengharuskan setiap keputusan yang diambil dalam suatu permasalahan melibatkan diskusi bersama antara pihak-pihak yang terlibat. Dalam hal penyelesaian sengketa perbankan syariah, musyawarah digunakan untuk mencari titik temu yang dapat diterima oleh semua pihak tanpa memaksakan kehendak satu pihak kepada pihak lainnya.
Penyelesaian sengketa yang mengedepankan musyawarah ini lebih menekankan pada pendekatan damai dan rekonsiliatif daripada konfrontatif. Dengan demikian, musyawarah menjadi salah satu metode utama dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah sebelum melangkah ke proses hukum yang lebih formal. Lembaga seperti Dewan Syariah Nasional (DSN), yang bertindak sebagai badan yang mengeluarkan fatwa terkait hukum perbankan syariah, juga sering berperan sebagai mediator dalam menyelesaikan sengketa yang terjadi.
3. Prinsip Keterbukaan dan Transparansi.
Dalam penyelesaian sengketa, keterbukaan dan transparansi (shafafiyyah) menjadi prinsip penting yang harus diterapkan oleh semua pihak yang terlibat. Hal ini sejalan dengan tujuan untuk menciptakan hubungan yang jujur dan tidak ada pihak yang merasa dirugikan karena informasi yang tidak terungkap. Dalam konteks perbankan syariah, hal ini bisa meliputi transparansi dalam hal prosedur penyelesaian sengketa, informasi tentang hak dan kewajiban masing-masing pihak, serta dasar hukum yang digunakan dalam menyelesaikan masalah.
Sebagai contoh, dalam perjanjian pembiayaan atau transaksi lain yang dilakukan oleh bank syariah, penting bagi bank untuk memberikan informasi yang jelas dan transparan kepada nasabah mengenai ketentuan yang berlaku, termasuk dalam hal pembiayaan, jangka waktu, bunga, dan ketentuan terkait lainnya. Ketika terjadi sengketa, prinsip ini membantu menghindari konflik lebih lanjut dengan memastikan semua pihak mengetahui hak dan kewajiban mereka.
4. Prinsip Akuntabilitas.