Novel The Da Vinci Code, rasanya dapat mengantarkan kita pada sebuah dunia terselubung (dan fantasi) ala-ala Dan Brown. Kita akan diajak mengikuti perjalanan Robert Langdon dalam menguak rahasia The Priory of Sion, sebuah gerakan terselubung yang diduga melindungi rahasia besar yang dapat mengancam umat Kristen : The Holy Grail. Dan Brown dengan apik menunjukkan bahwa Holy Grail (atau yang kita kenal sebagai Cawan Suci) hanyalah sebuah simbol. Simbol sebuah dokumen turun-menurun yang diperkirakan menyimpan kebenaran status kesucian Yesus, dan keturunan-keturunannya hingga masa modern.
Penggambaran Holy Grailbe serta The Priory of Sion oleh Dan Brown memang menuai banyak kontroversi. Namun yang menarik, terdapat sebuah distorsi sejarah (yang jika benar) dapat mengguncang kehidupan beragama kita sekarang. Bahwa teks-teks kitab suci, khususnya Kristen, patut dipertimbangkan ke-otentikannya.
Penyelewengan isi dari kitab suci memang sudah menjadi polemik panjang di berbagai agama. Agama Islam dengan Al Qur'an tentu juga tidak lepas dari polemik ini. Ayat-ayat setan yang keluar dari Salman Rushdie misal, menunjukkan satu dari banyak usaha untuk mempertanyakan keotentikan Al Qur'an. Kitab suci Islam namun begitu, justru memiliki isi yang unik. Al Qur'an sendiri justru menyebutkan banyaknya nama-nama Nabi dalam Al-Qur’an. Hal tersebut dapat menunjukkan bahwa, terjadi pendistorsian kisah sejarah para Nabi-nabi terdahulu dalam kitab suci lain yang coba “dikoreksi” oleh Al Qur’an.
Contoh distorsi dalam agama Yahudi dan Nasrani misal, dituliskan bahwa para nabi mereka membawa agama non-Islam: Yahudi atau Nasrani. Al-Qur’an menegaskan kedua agama (diin) ini bukan ciptaan Allah. Penolakan ini dipertegas oleh Allah dengan wahyu-Nya, la nufarriqu baina ahadin minhum wa nahnu lahu muslimuun — tidak ada seorang nabi pun yang berbeda ajarannya, keseluruhannya adalah Muslim (QS 2:136 dan 3 : 84).
Karena adanya pendistorsian-pendistorsian dalam penurunan wahyu, maka Allah menurunkan kitab yang menyempurnakan kitab-kitab sebelumnya. Itulah kitab yang terpelihara — muhaiminan — dalam Al — Qur’an (QS 5 : 48). Dengan demikian, Al Qur’an yang bersifat benar (mushshadiqan) dan terpelihara (muhaiminan) sudah mengandung kitab-kitab suci yang lain, baik Taurat — Nabi Musa as, Zabur — Nabi Daud as, dan Injil — Nabi Isa as. Inilah sebabnya umat Islam wajib mengimani empat kitab suit: Taurat, Zabur, Injil, dan Al Qur’an, karena keempatnya ada dalam Al Qur’an. Sebaliknya juga bukanlah kitab suci yang benar, walaupun namanya Taurat, Zabur, Injil bila terlepas pengertiannya dan tidak berdasar Al Qur’an.
Al Qur’an banyak mengandung kisah (qashash) yang berupa ihwal umat yang telah lalu, nubuwat (kenabian) yang terdahulu dan peristiwa-peristiwa yang telah terjadi. Syaikh Manna Al Qaththan (2015) menjelaskan berbagai hikmah akan adanya kisah-kisah dalam Al Qur’an. Salah satu hikmah tersebut kemudian yang dibahas oleh oleh Ahmad Mansur Suryanegara dalam pembukaan bukunya, Api Sejarah (jilid pertama). Hikmah itu adalah guna menyingkap kebohongan ahli kitab, dengan cara membeberkan keterangan yang semula mereka sembunyikan.
Mulai dari sini, dapat dipahami bahwa sesungguhnya pemahaman tentang sejarah memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan kita sekarang. Al Qur'an sendiri, yang merupakan kitab rujukan umat muslim, menunjukkan perhatian yang besar terhadap distorsi-distorsi dalam sejarah. Boleh dibilang, sejarah yang telah membentuk identitas kehidupan kita sekarang ini.
Lalu bagaimana dengan Sejarah-sejarah lain yang kita telan pasca Al Qur'an turun?
Berbeda dengan Al Qur’an yang kekal, penulisan ulang “kisah-kisah” dalam peradaban Muslim telah dilakukan oleh tokoh dan waktu yang berbeda pada tiap masanya. Indonesia beruntung memiliki pakar-pakar sejarah, yang diantaranya berusaha untuk menulis kembali sejarah dari perspektif seorang Muslim. Beberapa cendekiawan Muslim (seperti Badri Yatim, Ahmad Mansur S., dsb) bahkan sudah mendedikasikan karya-karya mereka tersendiri untuk menguak sejarah masuknya Islam ke Indonesia.
Ajaran Islam sudah masuk ke Nusantara sejak abad ke-1 H/7M. Dibawa oleh para wirausahawan Arab yang singgah sejenak di kota pelabuhan dan daerah-daerah sepanjang pantai. Periode ini merupakan awal pengenalan ajaran Islam dan penerimaan ajaran Islam. Hal ini terjadi pada abad 1 H — 5 H atau abad ke-7 M hingga abad ke — 12 M.
Selanjutnya, para wisauhawan pribumi mengadakan dakwah yang lebih intensif, hingga masuk ke daerah pedalaman. Periode ini disebut sebagai masa pengembangan agama Islam di Nusantara Indonesia. Hal ini terjadi pada abad 6 H atau abad ke-13 M.
Berdasarkan hal tersebut, terdapat hal yang tidak bisa kita elakkan. Yaitu terjadinya semacam upaya penafsiran ulang terhadap sejarah Islam. Baik oleh kalangan muslim atau bukan. Semenjak runtuhnya Turki Utsmani atau dengan datangnya Kolonial Belanda di Indonesia, sejarah yang dikonsumsi umat Islam kemudian mulai berubah. Inilah salah satu perang pemikiran yang kita hadapi sekarang : pengubahan sejarah dan identitas umat Islam oleh Barat.
Rencana imperialis tidak hanya sesederhana untuk menciptakan negeri Muslim yang lebih kecil, tapi untuk mengubah sejarah dan identitas itu sendiri. Tidak hanya menciptakan “nation state”, tapi perpecahan ukhuwah diantara umat Islam.
Idenya adalah untuk memecah satu identitas pemersatu, identitas Muslim dan menggantikannya dengan identitas-identitas yang lain. Kita dengan begitu, mulai melihat diri kita dengan batasan etnis, kelompok, atau garis-garis sektarian.
Jelas bahwa umat muslim tidak akan dengan mudah menyerahkan identitas, atau sejarah mereka. Saat inilah kekuatan imperialis akan memaksa penanaman identitas baru ini, baik secara fisik atau non fisik. Dunia sudah menjadi saksi terhadap jutaan Muslim yang terbunuh, kelaparan sampai mati, dan disiksa, dari ujung timur sampai barat, untuk memastikan identitas imperialis ini menggantikan pemahaman Islami yang bisa menyebabkan persatuan umat.
Reaksi umat tentu saja tidak tinggal diam melihat realita tersebut. Usaha untuk membatasi gerakan persatuan umat global ini (yang dikenal dengan Pan Islamisme), juga ditujukan pada lingkup negara, wilayah, sampai tokoh-tokoh tertentu. Pengorbanan tokoh-tokoh yang memerjuangkan Islam (seperti Jamaluddin Afhani, Hassan Al Bana, dsb), jarang terdengar karena memang besarnya kekuatan Imperialis Barat dalam mengarahkan opini yang ada.
Sekali dikalahkan, Muslim akan diajarkan oleh imperalis tentang kisah bahwa mereka Inferior dari satu waktu, ke waktu yang lain, secara berulang. Hingga akhirnya secara tidak sadar, semua hal tersebut dipercayai. Ucaplah kebohongan berkali-kali, maka kebohongan tersebut akan menjadi kebenaran.
Umat Islam akhirnya, akan terkolonialisasi dan menjadi inferior. Ambil contoh global misal, bagaimana kecilnya umat ini memerhatikan nyawa kaum mereka sendiri. Umat Islam tak pernah mengingat siapapun dari bagiannya yang hilang. Tidak ada monumen dan peringatan untuk jutaan yang telah terbunuh selama berabad-abad.
Tidak untuk jutaan muslim yang “dibersihkan” selama jatuhnya Spanyol, ratusan ribu umat muslim yang terkatung-katung dan bahkan dibantai di Myanmar, ratusan/ribuan muslim yang dibantai di Maluku. Tidak untuk berbagai kisah lainnya. Semuanya dilupakan dari ingatan umat ini.
Dari Malaysia ke Maroko, dari Indonesia ke India, dari Bosnia ke Burma, sejarah tertutup. Hingga Suriah menangis kembali, Palestina kembali berkobar, dan semuanya sedang dihancurkan, dan kita masih diam.
Tidak ada nama tercatat dalam ukiran, atau monumen dibuat untuk kehormatan mereka. Tidak ada semenit untuk berhening, tidak ada bunga setiap tahun, tidak ada penghormatan untuk kematian umat ini, dan tidak ada sumbangan untuk keluarga mereka. Bahkan dapat kembali kita ingat di Khutbah Jum’at masing-masing masjid kita, nama siapa saja (atau setidaknya negeri!) yang disebut dalam ritual tersebut. Tidak satu jiwa saja kita bisa ingat, yaitu mereka yang tidak bisa terkubur, bahkan di kuburan massal sekalipun.
Bandingkan misal, dengan perilaku dari mereka yang tidak melihat dirinya sendiri sebagai inferior. Mereka yang secara mental (ataupun fisik) tidak merasa kalah. Peristiwa 9–11 di Amerika telah menunjukkan bagaimana reaksi dari penjuru “dunia barat” sangat luar biasa pada waktu itu.
Total jumlah korban nyawa sebanyak 2996 jiwa menyebabkan rentetan kejadian yang mengerikan. Perang adalah jawaban.
Buru!
Cari orang yang bertanggung jawab !
Itulah yang diinginkan barat bagi orang-orang yang mereka sangka telah mengambil kebebasan mereka. Peristiwa yang akhirnya mengarah pada invasi dua negara dan kematian jutaan orang ini, masih bisa kita rasakan dampaknya hingga sekarang.
Sedikitnya reaksi dari umat ini mungkin mengejutkan (apabila kita berpikir). Namun disitulah terletak bukti dari inferior kompleks kita. Kebencian akan kaum kita sendiri. Oleh pikiran umat ini yang tertanam imperialisasi.
Tentu saja, ini semua bukan satu-satunya contoh dari mentalitas umat Islam yang aneh dan tragis. Masih banyak contoh diluar sana yang bisa kita temukan.
Sejarah Indonesia disamping itu, masih dapat kita syukuri. Negeri ini memiliki Pahlawan-pahlawan Islam yang sangat hebat. Mereka Ibu dan Bapak yang telah menjaga negeri ini dari gempuran, sehingga imperialisme tidak bisa bergerak dengan bebas.
Tokoh-tokoh seperti Laksamana Malahayati, KH Wahid Hasyim, Ahmad Dahlan, HOS Tjokroaminoto, atau M. Natsir adalah sedikit yang mampu menunjukkan mentalitas seorang Muslim yang sesungguhnya. Ketika pemikiran imperialis mengajarkan Islam hanya mengenai pakaian, kaki mana yang digunakan untuk masuk toilet, dan tangan mana yang digunakan untuk makan, mereka sudah menggunakan tangan mereka untuk menegakkan keadilan Islam di Nusantara ini puluhan tahun yang lalu.
Sayangnya kembali, sejarah yang jamak dipahami sekarang memang bermasalah. Hal ini tentu tidak terlepas dari pendidikan yang ada pada negeri ini. Yudi Latif dalam Inteligensia Muslim dan Kuasa melacak benih pertama pendidikan sudah dipengaruhi oleh kolonial sejak masa politik etis, dan berkembang hingga sekarang.
Generasi muda muslim Indonesia ternyata masih diajarkan kisah-kisah mereka sendiri oleh pemikiran bangsa lain. Sekarang kepada diri sendiri kita bisa bertanya, apakah sejarah yang telah kita ketahui sudah sedemikian benarnya. Apakah kita sebagai seorang muslim sudah bisa mendefinisikan diri kita sendiri, bukan sebagaimana keinginan kolonial barat dulu mendefinisikan kita.
Islam seharusnya yang menjadi solusi. Rasulullah SAW sendiri menyatakan bahwa Allah itu Esa, dan semua umat manusia setara dibawah-Nya. Tidak manusia yang lebih rendah dari yang lain, kecuali dari ketaqwaannya.
Disinilah tugas kita untuk mempelajari sejarah kembali, menyesuaikan perjuangan yang ada agar sesuai dengan tantangan yang ada sekarang. Tak cukup belajar dan refleksi, adalah tugas kita membangunkan umat yang sedang tertidur. Tertidur ditengah imperialisme baru yang belum mereka (dan bahkan kita) sepenuhnya sadari. Untuk kembali berjuang, dan meneruskan mata rantai perjuangan yang telah dirintis Ulama kita terdahulu, untuk menegakkan keadilan Islam di Bumi Nusantara ini.
“Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan…”
- QS 57 : 25
Referensi :
Al Qaththan, Syaikh Manna. 2015. Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an.Pustaka Al Kautsar.
Bukhari, Asghar.The Creation of Colonized Muslim Slave.
Hidayat, Nuim. 2009. Imperialisme Baru. Gema Insani Press.
Latif, Yudi. 2012. Inteligensia Muslim dan Kuasa. Mizan Press.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H