Mohon tunggu...
Arif Yudistira
Arif Yudistira Mohon Tunggu... Guru - Pendidik

Suka Ngopi, dan jalan-jalan heppy.

Selanjutnya

Tutup

Book Artikel Utama

Novel Puitik Joko Pinurbo

7 Januari 2025   22:03 Diperbarui: 8 Januari 2025   15:25 328
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel Srimenanti karya Joko Pinurbo | Sumber gambar: Gramedia.com

Sastrawan adalah seorang seniman sekaligus. Ia adalah kreator. Dia tak mandeg, dinamis. Sastrawan yang baik, konon tak hanya bisa bertahan pada satu genre. Ibarat kata, pagi menulis puisi, siang menulis esai, lalu malam menulis cerpen bukanlah hal mustahil. Dunia seni, bukanlah dunia yang statis. Ia adalah dunia yang penuh cakrawala dan penuh kemungkinan. 

Saat GM menulis novel, kita pun dikejutkan oleh betapa puitisnya saat penyair menulis novel. GM begitu lama sekali ingin menulis novel, dan baru tercapai saat usianya sudah 70 tahun lebih. 

Kita tak tahu, apakah GM bakal menulis novel yang lebih tebal dan rumit seperti esainya, atau seliris puisi-puisinya lagi. Yang pasti, sebagai sastrawan, GM menunjukkan kerja kreatifnya tak hanya menulis puisi, ia juga menulis esai dan menulis novel. 

Rendra misalnya, ia mengembangkan teater sepulang dari Amerika, ia sendiri juga dikenal sebagai penyair dan penulis. Pramoedya sendiri selain menulis novel, ia juga seorang pemikir kebudayaan. Radar Panca Dahana, selain menulis puisi, ia juga seorang pekerja teater dan budayawan. Emha Ainun Najib pun demikian halnya, ia dikenal sebagai budayawan dan sastrawan. Di Indonesia, para sastrawan yang menekuni dua atau lebih bidang sastra cukup banyak.

Di tahun 2019, kita dikejutkan oleh penyair kondangasal Yogyakarta Joko Pinurbo---yang menulis novel berjudul Srimenanti (2019). Pembaca puisi-puisinya akan terhenyak saat Jokpin beralih ke novel. 

Sebelumnya, Joko Pinurbo pernah menulis cerpen yang beberapa kali tampil di Harian Kompas. Cerita pendek Jokpin sederhana, kehidupan pinggir kerap diangkat, dan tak menghilangkan aroma puitis sebagaimana puisi-puisinya. 

Bagaimana dengan novel perdana Jokpin?. Membaca Srimenanti saya jadi ingat kredo puisinya Selamat Menunaikan Ibadah Puisi  yang jadi judul buku puisinya di tahun 2016. Jokpin tak menghilangkan kesan pembaca sebagai penyair. Ini nampak dari bagaimana ia mengemas kalimat-kalimat pendek dalam tokoh yang minim dialog. Jokpin di novel Srimenanti justru semakin mengukuhkan dia sebagai penyair ketimbang novelis. 

Pembaca bisa menyimak kutipan berikut ini: pada suatu kangen, setelah berhari-hari pergi mengerjakan sebuah proyek penulisan naskah film dokumenter, saya singgah ngopi di warung Bu Trinil. Dia senang saya muncul lagi. Dia mengira saya pergi untuk tidak kembali. 

Pembukaan yang puitis seperti ini bakal kita temui di novel Jokpin. Pembaca pun dihibur oleh kutipan-kutipan indah layaknya penggalan puisi. Mengapa ibu suka memasang senja di jendela? Barangkali senja adalah firman visual bahwa tak ada sesuatu yang tak berakhir; ketika esok harinya fajar rekah, itu artinya tak ada sesuatu yang tak bisa dimulai kembali. 

Srimenanti seperti endapan-endapan puisi Jokpin selama ini. Puisi-puisinya seperti menyusun sendiri tokoh-tokoh yang tak bisa dilepaskan dari kehidupan Jokpin. Meski di pembuka novelnya sendiri Jokpin sudah mewanti-wanti pembaca: buku cerita ini merupakan karya fiksi meskipun di dalamnya terdapat nama-nama yang dapat dijumpai di dunia nyata. 

Di novel kita bakal berjumpa tokoh-tokoh sastrawan maupun seniman yang singgah di novel ini. Tokoh yang paling kerap muncul adalah Sapardi meski bukan tokoh utama. Selain Sapardi kita juga menemui Beni Satryo, Aan Mansur, Nasirun, Butet, Yusi Avianto Pareanom, Faisal Oddang. Di novel ini, tokoh-tokoh itu hidup seperti dekat dan intim dalam kehidupan Jokpin maupun puisinya. 

Kita bakal menemukan banyak puisi Jokpin di novel ini. Penggalan-penggalan puisi Jokpin di novel ini seperti satu kesatuan yang utuh. Ia menyatu dalam dialog, serta suasana batin tokoh-tokohnya.

Kita simak petilan novel berikut: Faisal girang saya mau ke Makassar karena katanya dia membutuhkan kehadiran saya. Dia mau minta saya mengisi acara peluncuran buku puisinya. Tiba Sebelum Sampai, hasil dia berburu kata di beberapa negara. Dia akan mengusahakan jadwal pertemuan saya dengan Kak Aan bisa beriringan dengan acaranya. 

Tokoh di novel ini terkadang mewakili Jokpin sendiri. Namun, sebagai fiksi, kehidupan di novel ini beserta tokohnya tentu bisa tidak sepenuhnya kita percaya sebagai fakta. 

Novel Srimenanti lebih kental sebagai puisi yang berkisah. Kita disuguhi bagaimana sebuah asal muasal puisi. Kita bakal menemukan semacam cerita sederhana mengenai eltece (baca: lelaki tanpa celana) yang mirip dengan buku puisi Jokpin sendiri yang bertajuk Celana (1999). 

Pembaca juga bakal mendapati bagaimana riwayat puisi Pada Suatu Pagi Hari karya Sapardi seperti mendapatkan penjelasan agak terang saat ditafsir Jokpin di novel ini. Kita pun seperti memperoleh sepenggal kisah penyair Beni Satryo dalam novel ini. Jokpin seperti menyusun puzzle dari puisi, tokoh, dan orang-orang di sekitarnya menjadi satu kesatuan yang utuh. 

Tak heran bila di penutup novelnya kita mendapati kalimat-kalimat penutup yang seolah mengakhiri cerita para tokoh. Malam sudah larut. Saya masih bersendiri dengan puisi. Berdua dengan hujan. Bertiga dengan kopi. Berempat dengan kantuk. Berlima dengan uwuwu. Saya ingin mengucapkan selamat istirahat kepada tokoh-tokoh yang bercungulan dalam sajak Sapardi, yang telah melahirkan kisah-kisah yang tak terbayangkan sebelumnya. 

Kita mendapati cerita yang datar meski puitis. Di novel Srimenanti Jokpin memang tak hendak menciptakan konflik yang keras antar tokoh. Kita justu menemukan batin, cerita khas Jokpin yang tak mau melewatkan barang sekejap suasana batin, latar yang tetap indah, juga kesunyian sebagaimana puisinya. 

Novel Srimenanti seperti tafsir puisi-puisinya yang menciptakan tokoh-tokoh yang tak jauh dari kehidupan (imajinasinya). Barangkali inilah kekhasan penyair saat ia menulis cerpen atau novel, tak mampu menghilangkan identitasnya sebagai penyair tapi justru semakin mengukuhkannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun