Tradisi milad atau ulang tahun memang bukan tradisi yang lekat di kalangan warga Muhammadiyah. Saat milad Nabi Muhammad Saw misalnya, Muhammadiyah paling banter cukup mengadakan pengajian sembari memunguti hikmah (ibrah) dari peristiwa kelahiran Nabi. Berbeda dengan saudara kita di kalangan Nahdiyin. Milad seorang habib misalnya, bisa diperingati dengan semacam gawe (acara besar) seperti solawatan, pengajian hingga aneka tasyakuran lain untuk mengingat (mengeti) kelahiran ulama.
Kultur ini tidak terlepas dari pesan K.H. Ahmad Dahlan sendiri, sebagai seorang ulama berpengaruh di Indonesia, Kyai Dahlan melarang pengikutnya untuk mengultuskan dirinya. Sehingga kuburan Kyai Dahlan sekalipun nampak sangat sederhana. Kyai Dahlan juga diperlakukan bak manusia biasa, sebagai ulama yang egaliter. Warisan Dahlan justru ada pada organisasi Muhammadiyah, yang lekat dengan aksi sosial kemanusiaan. Pikiran dan gerak dakwah Kyai Dahlan itulah yang kini diwarisi oleh penerus-penerusnya. Sehingga hampir tidak ada pengultusan pribadi kepada salah satu tokoh atau ulama di kalangan warga Muhammadiyah.Â
Ada cara lain dari warga Muhammadiyah mensyukuri pemimpinnya, ulamanya, ketua organisasinya. Salah satu cara mensyukuri ulama, tokoh agama, hingga pemimpin organisasinya adalah dengan menuliskan percik pemikirannya. Penulisan buku biografi pemikiran sebagaimana buku Jalan Baru Moderasi Beragama,Mensyukuri 66 Tahun Haedar Nashir bukan yang pertama kali. Kita bisa melacak buku pemikiran tokoh, atau ketua umum Muhammadiyah sebelumnya yang dirayakan dengan penulisan buku pemikiran serupa.Â
Buya Syafii misalnya, di usianya yang ke-70, turut dirayakan dengan buku bertajuk Cermin Untuk Semua di tahun 2005 yang diterbitkan Maafif Institute. Buku ini mengulas pribadi Buya hingga kontribusi pemikirannya kepada bangsa kita.Â
Di tahun 2012 terbit buku 70 Tahun Rosyad Soleh yang diterbitkan Suara Muhammadiyah. Buku ini memotret Rosyad Soleh yang konsisten dan tekun dalam mengurusi tata kelola dan managemen organisasi Muhammadiyah. Buku ini juga memuat kiprah dan dedikasinya di organisasi Muhammadiyah. Selama hampir 35 tahun lamanya, Rasyad Soleh mendalami dan menggeluti dakwah di Muhammadiyah.Â
Haedar Nashir sendiri dalam bedah buku di UGM pada hari Selasa (23/4/2024) mengakui masih menolak dirinya atau biografinya ditulis. Dengan rendah hati ia mengatakan, untuk apa saya ditulis, siapalah saya, saya juga belum apa-apa dan masih hidup. Namun, sekelompok anak muda Muhammadiyah yang digawangi Fajar Riza Ul Haq dan Azaki Khoirudin pun diam-diam memberi persembahan di hari ulang tahun Haedar Nashir yang ke-66 dengan menerbitkan percik pemikirannya.Â
Jalan Baru Moderasi Beragama (2024) adalah semacam perayaan kecil dari pemikiran Haedar Nashir seorang sosiolog, Ketua Umum PP Muhammadiyah, menawarkan alternatif baru bagaimana mengatasi konflik sosial terutama berlatar keagamaan dengan moderasi beragama. Sumbangsih pemikiran Haedar Nashir telah menjelma sebagai gerakan di kalangan ormas hingga pemerintah untuk mengatasi gerakan radikalisme yang selama ini sering dilawan dengan radikal pula (deradikalisasi).
Judul Buku: Jalan Baru Moderasi Beragama, Mensyukuri 66 Tahun Haedar NashirÂ
Editor : Fajar Riza Ul Haq & Azaki Khairudin
Penerbit : Penerbit Buku KompasÂ
Halaman : 528 Halaman
Tahun : 2024
ISBN: 978-623-160-451-4
Harga : 189.000
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H