Diantara seantero profesi lainnya, guru dianggap sebagai profesi mulia. Pekerjaannya selalu berhubungan dengan ihwal mendidik dan membentuk karakter murid (manusia). Kesehariannya dihabiskan dengan perkara dan hal-hal berkait pikiran "bagaimana mengurusi watak" anak. Bagaimana menyikapi anak yang tidak menurut di dalam kelas. Dan aneka soal muridnya baik di sekolah maupun di luar sekolah.
Seorang guru ibarat orangtua anak di sekolah. Segala laporan, problem dan juga keluh kesah murid ditumpahkan ke guru. Seorang murid saya pernah berseloroh "Ustaz itu bapak kedua andi". Memang demikianlah guru itu ia memiliki peranan yang sangat vital dalam urusan membentuk, mengurusi dan menginspirasi muridnya.
Baik buruk, maju mundurnya mereka (sang murid) amat sangat dipengaruhi oleh guru. Ada pengakuan menarik yang patut disimak mengenai peran guru yang amat besar yang amat membekas di benak Prof. Karlina Supelli. Prof Karlina Supeli mengisahkan bagaimana guru matematikanya menghukum dirinya untuk ke perpustakaan dan membaca buku sastra. Karlina menyadari ia sangat senang dengan hukuman gurunya kelak.
Gurunya sadar bahwa ia menyukai ipa dan juga eksak, tetapi gurunya sadar bahwa sastra sangat penting menghaluskan jiwa. Menfaat itu dirasakan Karlina hingga ia menjadi seorang ilmuwan mumpuni di Indonesia. Betapa besar peran guru yang akhirnya membentuk diri murid hingga ia dewasa. Kenangan yang membekas itulah yang diingat dari seorang guru.
Profesi guru itu berbeda dengan profesi lain. Pekerjaan lain terbatas pada urusan mendapatkan bayaran. Kewajibannya sangat amat terbatas pada satu aspek semata.
Guru memiliki kewajiban yang amat banyak. Keluhan, masalah dan juga problem sekecil apapun pada anak guru turut serta dituntut dan diseret tanggungjawabnya. Sebab tanggungjawab guru memang tidak terbatas di sekolah namun juga di rumah. Dalam lingkup internal, guru juga masih memiliki pelbagai soal. Soal guru tidak terbatas pada urusan anak atau muridnya di rumah. Guru juga mengalami soal internal dan rumah tangga mereka.
Guru-guru di Indonesia, sampai kini masih belum sejahtera. Dalam buku Gilbert Highet (1957) bertajuk Seni Mendidik I mengatakan" kesukaran utama dari para guru adalah kemiskinan." Banyak survey menganalisa bahwa kaum milenial akan semakin susah memiliki rumah. Terlebih milenial yang memilih profesi sebagai seorang guru.
Kebutuhan rumah tangga yang semakin meningkat, harga-harga yang melambung tinggi dan semakin banyaknya kebutuhan rumah tangga guru belum diimbangi dengan pendapatan atau gaji yang tinggi.
Pemerintah saat ini juga belum mampu menyelesaikan soal pendapatan guru. Carut marut perekrutan guru sebenarnya bisa ditinjau dari soal beratnya beban anggaran yang dikeluarkan pemerintah ihwal memenuhi kewajibannya mensejahterakan guru.
Soal guru lain adalah masalah peningkatan kompetensi. Guru saat ini dilanda kesibukan akan tugas mengajarnya yang teramat padat. Terlebih di sekolah full day school.
Waktu guru seperti habis di sekolah dengan aneka kesibukan administrasi, penyelesaian kewajiban kurikulum dan juga tugas pedagogiknya di sekolah. Kesibukannya hari demi hari membuat guru seperti habis energinya sementara ia semakin kekurangan waktu dan kesempatan untuk meningkatkan kompetensinya.
Kreativitas, keterampilan dan juga skill guru harus ditingkatkan. Peningkatan kompetensi dan juga kreativitas harus terus diasah. Sementara sebagai seorang guru, guru kehilangan waktu efektifnya untuk memompa diri dan mengisi waktunya dengan pelatihan, belajar lebih jauh dan dalam lagi tentang keahlian dan skill yang dimilikinya.
Ketiadaan kesempatan yang dimiliki guru ini untuk terus belajar dan mengembangkan diri, mengakibatkan guru menjadi sosok yang mandeg, statis dan tidak berkembang.
Di sisi lain, guru juga dituntut untuk terus adaptif terhadap perubahan dan perkembangan di dunia pendidikan. Teknologi yang semakin maju, tantangan zaman yang terus berubah, serta berkembangnya metode didaktik yang tidak selalu sama dari tahun ke tahun menuntut guru untuk terus belajar dan berubah.
Â
Move OnÂ
Â
Segudang soal yang ada di guru tidak boleh membuat guru terdiam. J Sumardianta menyarankan guru memang harus move on. Untuk kreatif, biasanya guru harus mengalami kondisi terjepit atau terpepet. Semakin dihimpit keadaan, manusia dengan sendirinya akan mencari jalan dari setiap permasalahannya.
Di tengah tantangan zaman yang semakin kompleks sampai sekarang, guru banyak yang kreatif keluar dari persoalan yang menghimpitnya. Dari soal pendapatan misalnya, guru banyak yang mencari pekerjaan sampingan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Guru juga mengikuti pelatihan, seminar online untuk meningkatkan skill atau bakat yang mereka miliki.
Problem guru memang tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah semata. Banyak yayasan atau lembaga pendidikan yang sudah mulai menaruh perhatian terhadap nasib guru.
Sekolah swasta yang bagus tidak hanya lahir dari manajemen yang bagus. Sekolah swasta yang moncer ternyata tidak lepas dari peranan dan kepeduliannya terhadap nasib dan juga pengembangan kompetensi gurunya.
Guru juga bisa mengikuti aneka kompetisi yang diadakan oleh berbagai institusi dan lembaga untuk menguji kemampuan pedagogiknya disamping untuk memperoleh reward.
Dengan begitu, guru tidak terpaku pada masalah pribadi yang menimpanya, tetapi ia bisa move on dan terus maju. Menjadi guru memang tidak hanya memerlukan kompetensi, tapi juga harus mau menerima konsekuensi dari tugas profesinya dan masalah yang dihadapinya. Jika semua guru sadar akan profesinya dan juga sadar akan konsekuensinya, ia akan menjalani profesinya dengan riang gembira.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H