Anak-anak memiliki kemampuan menyerap yang sangat menakjubkan. Montessori tokoh pendidikan Itali meneliti tidak hanya pada aspek bahasa, anak-anak amat cepat belajar dari lingkungannya dan dari cara kecenderungan mereka dalam mempelajari banyak hal. Ki Hajar Dewantara mengadopsi pemikiran Montessori dengan mengatakan bahwa pendidikan itu memerdekakan jiwa anak. Guru adalah pamong yang menuntun dan membimbing anak kepada jiwa anak yang merdeka dalam belajar. Itulah mengapa tempat pendidikan Ki Hajar disebut "Taman" artinya tempat yang menyenangkan.
Pendidikan anak di usia dasar adalah pintu masuk pertama kali dalam pendidikan di Indonesia. Ketika di usia dasar anak mendapati kesan yang menyenangkan, ia akan melalui fase belajar berikutnya dengan kegembiraan. Sebaliknya, bila anak melewati pendidikan di usia dasar dengan penuh beban dan juga kurang percaya diri, ini menjadi sebab yang akan mempengaruhi proses belajar di fase selanjutnya.
Mas Menteri Nadiem Anwar Makarim kembali membuat gerakan yang berani dengan membuat kebijakan menghapus tes calistung sebagai syarat masuk PAUD maupun SD. Kebijakan ini dilandasi pada kegelisahan Nadiem melihat anak harus dibebani calistung dan strategi yang melenceng tentang pengajaran calistung di usia dasar.Â
Anak-anak selama ini menjadi tidak percaya diri dan terkena tekanan mental saat mereka tidak bisa membaca dan gagal masuk PAUD dan SD. Gagalnya anak masuk SD karena belum bisa calistung ini membuat anak tertekan dan merasa minder. Padahal sejatinya usia sekolah dasar tidak boleh menekankan paradigma pembelajaran yang intelektualistik.
Paradigma Belajar Usia Dasar
Nadiem menyinggung bahwa anak-anak di usia dasar semestinya ditanamkan enam kemampuan yang menjadi fondasi anak di usia dasar. Pertama, pemahaman agama dan budi pekerti. Kedua, keterampilan sosial dan kemampuan bahasa. Ketiga, kematangan emosi dan literasi dasar. Keempat, kemampuan motorik dasar dan perawatan diri. Kelima, pengembangan keterampilan dan terakhir pemaknaan belajar yang positif.
Tes masuk sekolah dengan calistung jelas menutup pintu anak untuk mendapatkan hak dalam pendidikan dasar. Anak yang gagal dalam calistung dianggap kurang mampu dan tidak layak masuk sekolah favorit mereka. Tes calistung ini juga menjadikan sekolah menjadi terkastanisasi secara sistemik sejak dini.
Sekolah dasar dan usia dini yang menerapkan tes calistung sebagai syarat masuk seolah melempar tanggungjawab dan proses edukasi kepada sekolah lain. Pembelajaran SD yang sarat dan penuh dengan materi yang membebani anak sudah saatnya perlu dievaluasi dan ditinjau kembali.
Metode Didaktik
Metode belajar usia dasar yang penuh permainan, mengasah fisik, serta kepekaan anak terhadap lingkungannya jauh lebih penting ketimbang memaksakan anak harus menguasai calistung terlebih dahulu.
Metode pengajaran di usia dasar yang mengacu pada buku membuat guru menjadi kurang kreatif, terpaku pada buku dan tidak melihat aspek psikologi anak.