Judul Buku          : Usman Janatin dan Harun Tohir
Penulis             : Arif Saefudin
Penerbit            : Deepublishing
Terbit              : Cet 1 September 2018
Halaman           : v+ 176 Halaman
Harga             : Rp. 60.000,-
Pemesanan         : DISINI.
Resensi :
Sejarah mencatat, hubungan antara Indonesia dan Malaysia pernah mengalami masa kelam dengan puncak perselisihan yang tajam. Perselisihan dua negara satu rumpun melayu ini diawali dari rencana pembentukan Federasi Malaysia yang diinisiasi oleh Inggris. Presiden Sukarno sangat menentang pembentukan itu. Menurutnya, pembentukan negara federasi itu adalah sebuah bentuk neo-kolonilaisme dan neo-imperialisme (nekolim).
Penolakan Presiden Sukarno inilah yang menyebabkan konfrontasi berjalan begitu menarik dan sengit. Segala potensi negeri dikerahkan untuk melancarkan aksi penentangan yang dinamakan, Ganyang Malaysia. Puncaknya, Presiden Sukarno mengeluarkan sebuah komando untuk mengagalkan negara "boneka" itu: Dwi Komando Rakyat (Dwikora).
Perang yang tak dideklarasikan ini juga diwarnai dengan perjuangan diplomasi. Frederick P. Bunnel menggambarkan kebijakan politik yang diambil Presiden Sukarno ini sebagai confrontation diplomacy, yaitu suatu campuran manuver yang bersifat berani, cerdik dan tidak dapat diduga. Kecerdikan inilah yang dipakai untuk mengembalikan wilayah Irian Barat dari tangan Belanda.
Tak sesukses di Irian Barat, kebijakan ini berakhir meskipun tak diakhiri oleh Presiden Sukarno sendiri. Memang sebelum berakhir era konfrontasi, kursi kekuasaan Presiden Sukarno telah berganti dibawah komando Jenderal Soeharto tahun 1966. Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) menjadi tonggak utama.
Ditengah situasi konfrontasi yang hampir diakhiri itu, muncul sosok yang menjadi "tumbal" masa Dwikora. Dialah Janatin alias Usman bin Haji Muchamad Ali dan Tohir alias Harun bin Said. Mereka merupakan anggota Korps Komando Angkatan Laut (KKO-AL) yang rela menjadi sukarelawan Dwikora. Dengan jiwa patriotisme nya, tugas yang diembannya dilaksanakan dengan segenap jiwa raga.
Mereka tak paham lobi-lobi tingkat para pemimpin negeri, apalagi untuk berbicara mengkritisi. Sebagai seorang prajutir, yang mereka tahu adalah kesetiaan terhadap negera dan bangsa menjadi hal utama. Tidak bisa digadai dengan barang manapun, dan tak bisa ditawar dengan harga semahal apapun. Ketika negara memanggil, mereka siap hadir, itulah prinsip seorang prajurit.
Dipuncak konfrontasi yang memanas, Janatin dan Tohir berhasil melaksanakan tugas. Mereka sukses meledakan gedung MacDonnal House (MDH) di Singapura, wilayah yang waktu itu masih menjadi bagian dari Federasi Malaysia. Na'as, setelah berhasil melaksanakan tugas, mereka ditangkap pihak militer Singapura.
Proses panjang dan melelahkan mereka jalani. Pemerintah Indonesia juga hadir untuk membela mereka. Sejak akhir kekuasaan Presiden Sukarno sampai dimulainya Presiden Soeharto, kedua anggota KKO-AL sudah berusaha diselamatkan. Namun usaha itu sia-sia, karena vonis mati dengan digantung menjadi harga mati. Eksekusi mati dilakukan tanggal 17 Oktober 1968 di Penjara Changi, Singapura.
 Istimewanya, mereka diganjar Pahlawan Nasional oleh Presiden Soeharto. Dengan Keputusan Presiden RI No. 050/TK/Tahun 1968 tanggal 17 Oktober 1968, Usman Janatin dan Harun Tohir dianugerahi gelar Pahlawan Nasional dan tanda kehormatan Bintang Sakti. Sesuatu yang pantas mereka dapatkan untuk keberanian dan pengorbanan yang sudah diberikan.
Buku ini merupakan salah satu buku yang membahas perjuangan kedua prajurit KKO-AL itu. Namanya sempat tenggelam beberapa dekade. Tulisan mengenai mereka juga sangat jarang diperhatikan oleh sejarawan. Berlandas semangat itu, buku ini hadir untuk melengkapi dan menambah referensi mengenai perjuangan Pahlawan Nasional Dwikora itu.
Dengan mengucapkan Alhamdullilah, penulis mencurahkan segala puji syukur kehadirat Allah SWT, yang pada akhirnya bisa menyelesaikan buku yang berjudul, "Usman Janatin dan Harun Tohir: Kisah Perjuangan Pahlawan Dwikora". Meskipun dengan berbagai kendala dan suasana, tak menghalangi semangat untuk menggali sejarah mikro dipanggung sejarah Indonesia.
Tentunya dengan terselesaikannya buku ini, penulis mengucapkan berjuta terimakasih kepada beberapa pihak yang berkontribusi nyata maupun dengan doa. Tecurahkan rasa terima kasih kepada pihak Direktorat Sejarah yang telah memfasilitasi untuk menulis salah satu pahlawan Dwikora: Usman Janatin tahun 2017 silam. Tentunya menjadi lebih mudah penulisan buku ini karena sebagian besar referensi didapatkan dari penelitian itu.
Cucuran usaha tak akan ada artinya tanpa curahan doa. Oleh karena itu, penulis sembahkan terima kasih kepada kedua orang tua, Pak Suwarno dan Bu Suwarti yang menyumbangkan tetesan air mata dalam setiap lantunan doa. Tanpa doa mereka, usaha penulisan ini tak akan bisa terselesaikan dengan Rido-Nya.
Tidak lupa, saya curahkan rasa cinta kepada istri dan buah hati kami berdua. Istri tercinta Yuli Windarti, yang sudah mau membantu dan menuliskan ide-idenya, sehingaa kita bisa berkolaboorasi dalam buku ini. Anak kami berdua, Naira Ayudiasiya, yang terus tumbuh menjadi anak yang membanggakan kedua orang tua. Kalian berdualah motor penyemangat hidup.
Akhirnya, saya menyadari pasti banyak kekurangan dari setiap bagian buku ini. Kesalahan yang disengaja maupun yang tidak disengaja menyinggung pembaca, penulis ucapkan mohon maaf yang sebesar-besarnya. Semoga karya ini menjadi salah satu amal jariyah yang diterima oleh Allah SAW. Amiin.
Selamat membaca.
Sabah, Malaysia, Oktober 2018
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H