Assalamualaikum Wr.Wb
Pada hari Selasa (1/6/2021) telah viral sebuah tweet yang mengangkat isu kekerasan seksual pada anak di salah satu sinetron tanah air , isu ini diangkat oleh @mardiasih di akun pribadinya. Twittan ini sangat viral karena netizen baru saja ditampar oleh kenyataan bahwa industri kreatif indonesia pada pertelevisian telah menyentuh titik terbelakang, dengan mengandalkan ide cerita seksual dan me-normalize pernikahan dibawah umur,  sinetron ini tidak layak untuk tanyang di layarkaca indonesia secara publik.Â
sungguh sangat disayangkan stasiun tv yang telah berselancar selama 20 tahun lebih masih tidak dapat menunaikan kewajiban akan etika penyiaran atau disebut Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) . kasus ini dengan jelas menampilkan pemaksaan pernikahan dibawah umur, poligami, pemerkosaan dalam perkawinan dan perbudakan seksual. sesuai dengan Peraturan yang diatur oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) tayanga ini sudah melanggar aturan pada pasal 1 ayat 25 dan pasal 18 poin c  yang  melarang menayangkan segala bentuk adegan dewasa dan kekerasan seksual dalam sebuah tayangan televisi. dalam sinetron ini pun memaparkan adegan diskriminasi gender yang dimana Zahra yang di perankan oleh Lea (15 tahun) menjadi istri ketiga dari Pak Tirta yang di perankan oleh Panji Saputra (39 tahun) memaikan siasat adegan dewasa yang tentu saja sangat lah tidak elok dipandang mata.
mari kita pikirkan, apakah wajar menggunakan pemeran dibawah umur untuk memerankan pemeran dewasa dengan adegan dewasa? bukan kah ini terlalu aneh? apakah tidak ada lagi orang lain yang bisa memerankan tokoh fiksi ini?
industri film indonesia bisa dibilang terlambat apalagi di pertelevisian.Â
berbeda dengan di luar negeri contohnya india yang telah gencar dalam perfilman dan bahkan disebut sebagai bollywood yang diambil dari istilah Hollywood di Amerika.
produksi film besar besaran dan menggunakan berbagai kreatifitas dalam mengembangkan ide cerita dan visual india sudah menjadi salah satu kiblat perfilman dunia, sedangkan indonesia masih berkutat dengan ide cerita agama, rumah tangga dan kehidupan sehari-hari yang sejatinya tidak membangun bangsa yang tentu saja tidak memenuhi hakihat SPS (Standar Program Siaran) pada pasal 2 yaitu memperkokoh integrasi nasional, terbinanya watak dan jati diri bangsa yang beriman dan bertakwa, mencerdaskan kehidupan bangsa, dalam rangka membangun masyarakat yang mandiri, demokratis, adil dan sejahtera; mengatur program siaran untuk kemanfaatan sebesar-besarnya bagi masyarakat; dan mengatur program siaran agar tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.
tentang penulis
Arifroem Mohamad
Ilmu komunikasi UMM 2017
Twitter/IG : @arfroem
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H