Setibanya di depan jembatan gantung menuju Balai Malaris yang rusak akibat diterjang banjir, kami pun harus berjalan kaki sekitar 2 km untuk menuju lokasi. Sekitarpukul 8:00 malam kami tiba di Balai Malaris. Pemandangan yang tak pernah saya lihat memanjakan mata yang lelah, ratusan masyarakat berkumpul di dalam balai tersebut; saling bercengkrama, dan makan bersama. Tua maupun muda membaur dalam kebersamaan untuk melaksanakan Aruh Ganal yang diadakan sebagai rasa syukur atas panen tahun ini oleh masyarakat Dayak Meratus. Kekagumanku akan kebersamaan mereka (masyarakat dayak) malam itu membuatku berpikir ‘seandainya seluruh rakyat Indonesia seperti ini, semuanya akan sangat indah’.
      Pukul 9:30 malam, suara gendang terdengar dan ku lihat seeorang yang berdiri di tengah-tengah arena Balai Malaris seperti ingin menari. Seseorang tersebut menghentakan kakinya mengiringi suara gendang yang dimainkan beberapa orang dipinggir arena, sontak beberapa orang dewasa serta anak-anak juga beramai-ramai menari dengan hentakan kaki yang sama mengelilingi arena ditengah balai. Tarian itu disebut dengan Batandik.
      Melihat keseruan para pemuda menari menggugah rasa sahabat-sahabat saya untuk ikut menari. Ricky, Bonek, Tyo, Fajar ikut menari ketengah arena ikut bergabung untuk menari bersama pemuda yang lainnya. Tarian yang diikuti sahabat-sahabat saya tersebut sontak mengundang tawa, bukan hanya peserta baksos yang tertawa akan tetapi warga yang menyaksikan gerakan-gerakan konyol merekapun juga tertawa melihatnya. Apapun gerakan yang mereka tarikan itu tidak menjadi masalah, karena tarian tersebut adalah tarian pembuka dan tarian dari mereka ( sahabat-sahabat saya ) menjadi hiburan tersendiri bagi yang menonton.
      Mantra-mantra serta doa-doa dikumandangkan oleh kepala Adat dan diikuti oleh beberapa tokoh adat lainnya ketika acara dimulai. Suara gendang mengiringi prosesi Aruh Ganal sepanjang malam. Bingung memang melihat apa yang mereka lakukan, saya juga tidak tahu apa yang mereka kumandangkan, namun yang pasti acara ini merupakan ungkapan rasa syukur Masyarakat Dayak Meratus atas panen padi yang melimpah. Malam mulai larut, suara gendang dan mantra-mantra masih terdengar, beberapa peserta baksos ssudah terlelap di pinggiran arena acara. Dengan mata yang mengantuk saya pun tertidur sekitar pukul 03:00 pagi.
      Suasana dingin yang teramat dingin membangunkan saya dan sahabat-sahabat yang lainnya. Tepat pukul 6:00 pagi kami mulai berkemas dan berkumpul di depan Balai Malaris untuk menuju Desa Tanuhi. Agenda berikutnya ialah naik rakit menulusuri sungat Amandit Loksado bersama seluruh panitia dan peserta bakti sosial. Sebelum sampai Tanuhi, kami harus berjalan kaki entah seberapa jauh, karena saya tidak mengukurnya; tapi kira-kira sekitar 5-6 kilo meter rasanya kami berjalan. Dan sebelum beranjak pergi, kami pun berpamitan dengan tokoh adat yang ada di sana.
      Rasa lelah terbayar ketika saya berada di atas rakit dan memandang suasana indah yang memanjakan mata. Sambil memakan nasi bungkus yang dibagikan oleh panitia, saya serta dua sahabat saya Basit dan Clara bercanda riya menikmati keindahan alam yang asri. Begitu juga saya lihat denagn sahabat-sahabat yang lain. kegembiraan bisa tampak saya lihat dari wajah-wajah lelah mereka. Clara dan juga Basit yang jago nyanyi mengajak saya untuk membikin musik dari rakit bambu yang saya naiki, segera saya meminta untuk bapak-bapak yang memandu perjalan kami untuk menepi sebentar untuk mencari ranting yang dapat dipukulkan ke bambu agar dapat menghasilkan suara musik. Sembari menyanyi riya kami nikmati perjalan kami diatas rakit hingga tiba dititik persinggahan yang telah direncanakn oleh panitia.
      Rakit yang kami tumpangi pun berhenti begitu juga dan sahabat-sahabat yang lain ada yang duluan sampai dan ada yang datang belakangan. Baju yang basah saya ganti di kamar mandi masjid dimana bus yang kami tumpangi telah menunggu. Dengan perasaan lelah dan penat saya merebahkan diri di ruangan masjid tersebut. Tak peduli jika saya ditinggal bus ketika saya tidur karena mata sangat mengantuk. Sadar tak sadar saya pun tertidur lelap tak peduli lagi apa yang akan terjadi entah mimpi apa yang ada saat saya tidur, saya pun tak ingat.
Sesekali saya terbangun dari tidur namun mata masih terpejam dan terdengar sayup-sayup keriuhan canda tawa sahabat-sahabat yang ada diluar masjid, saya berpikir ini berarti saya belum ditinggal, saya pu melanjutkan tidur. Untuk kali kedua saya terbangun lagi dan masih dengan keadaan memejamkan mata, saat itu masih terdengar suara sahabat-sahabat yang ribut diluar. Tak lama kemudian saya terlelap pulas lagi dan akhirnya terbangun lagi untuk kali yang ketiga. Tak ada lagi suara ribut peserta diluar masjid.
      Mata yang masih terpejam namun pikiran saya menyimpulkan bahwa saya sudah ditinggal pulang bus yang sama tumpangi. Sontak saya pun terbangun dan berdiri dengan kedua belah kaki yang tegak serta dengan perasaan yang was-was ditinggal bus. Betapa terkejutnya saya ketika melihat sahabat-sahabat yang tadinya ribut di luar masjid ternyata juga ikut tidur pulas di samping saya di dalam masjid. Saya lagi-lagi berpikir dan menyimpulkan, saking eratnya kebersamaan kami bahkan saat lelah pun kami sama-sama tertidur dengan pulas dan sama-sama tak takut ditinggal bus.
Setelah makan siang, kami dan panitia bergegas untuk pulang kembali ke Banjarmasin. Bus yang semula terdengar riuh dan ribut tak berapa lama menjadi sunyi sepi. Saya lihat wajah-wajah lelah dari lelapnya sahabat-sahabat perserta baksos. Saya tersenyum ketika bayang-banyang kegiatan baksos serta kebersamaan yang kami jalan selama 3 hari kemarin, terlebih lagi ketika mengingat Basit dan Paula bernyanyi dibawah pohon sudah seperti shotting film India. Lelahpun menghampiri, saya pun juga ikut terlelap di dalam keheningan, dan hingga akhirnya tiba di Banjarmasin lagi dengan selamat.Arif