Seperti durian, judi online pun bak musiman, ada kalanya jadi trending topic, kemudian senyap sampai musimnya berganti. Terakhir kali topik ini menjadi hit, salah satunya ketika sejumlah anak muda berlabel 'sultan atau crazy rich', ditahan kepolisian karena praktek judi online yang berkedok investasi dan merugikan banyak orang.Â
Hari-hari ini, judi online bak durian yang kembali menuai panen raya, dijajakan dipinggir jalan dengan 'harga obral'. Beritanya marak dari berbagai angle, mulai dari sejumlah artis yang dipanggil kepolisian karena turut mempromosikan platform ilegal ini, atau berita terkait upaya Menkominfo memeranginya. Terakhir yang cukup mengagetkan, sebagaimana dikutip dari laman CNN Indonesia, bahwa Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengungkap 2,19 juta warga berpenghasilan rendah alias miskin rela merogoh kocek untuk main judi online. Jumlah itu setara dengan 79 persen dari total pemain judi online di Indonesia, 2,76 juta.
Masih dalam laman yang sama, disebutkan bahwa jutaan warga miskin tersebut melakukan aktivitas pertaruhan dengan nominal kecil di bawah Rp 100 ribu. Oleh PPATK, mereka terdeteksi sebagai "golongan warga berpenghasilan rendah dengan profil sebagai pelajar, mahasiswa, buruh, petani, ibu rumah tangga, pegawai swasta, dan lain-lain.
Yang tidak kalah mengagetkan, jumlah perputaran uang terkait judi online periode tahun 2017-2022 mencapai Rp190,26 triliun, dengan taksiran kerugian masyarakat per tahun mencapai Rp 27 triliun.
Statistik ini menjadi anomali, jika dikomparasi dengan data Badan Pusat Statistik (BPS). Â Data pada bulan bulan Maret 2023 lalu menunjukkan, bahwa garis kemiskinan mencapai Rp550.458/kapita/bulan. Sebesar Rp 408.522 atau 74,21% terdiri garis kemiskinan makanan, dan Rp 141.936 atau 25,79 % dari garis kemiskinan bukan makanan.
Artinya, kalau untuk memenuhi kebutuhan makanan saja masyarakat kita kesulitan, apa alasan mereka memustuskan untuk berjudi?
Harapan Terakhir
Jika melihat data dan sejarah, judi merupakan permainan yang sudah ada sejak ribuan tahun lalu, dan menjangkiti banyak masyarakat di berbagai negara. Amerika yang disebut sebagai negara maju sekalipun, punya data serupa.  Morgan Housel lewat bukunya berjudul Psychology of Money menuturkan, orang Amerika menghabiskan lebih banyak uang untuk tiket lotere daripada gabungan film, permainan video, musik, acara olahraga dan buku.
Menariknya, sama dengan fenomena di Indonesia, pembeli tiket lotere di Amerika sebagian besarnya orang miskin. Rumah tangga berpendapatan terendah di Amerika rata-rata menghabiskan $412 per tahun untuk tiket lotere, jumlah tersebut empat kali jumlah pengeluaran yang sama di kelompok masyarakat berpendapatan tertinggi.
Ironisnya, sebanyak 40% orang Amerika tidak bisa menabung $400 untuk dana darurat, padahal, mereka bisa membeli lotere sampai $400. Mereka disebut membuang jaring pengaman untuk sesuatu yang peluang untung besarnya satu per jutaan.
Tidak untuk membenarkan, namun pendapat Morgan yang mengajak kita untuk melihat dari perspektif mereka bisa menjadi rujukan. Orang-orang dalam rumah tangga dengan penghasilan rendah tersebut, adalah orang yang hidup dari gaji ke gaji, tidak memiliki uang sisa untuk ditabung.Â