Sementara lainnya, Early Adaptor, jumlahnya sedikit lebih banyak daripada Innovators, namun secara umum tetap minoritas, namun mereka adalah orang-orang yang memiliki dampak terhadap sebuah epidemi.
Umumnya, mereka adalah orang-orang yang memang selama ini menjadi panutan, seperti tokoh dalam suatu komunitas yang pendapatnya cenderung diperhatikan. Mereka suka mencari tahu banyak hal, browsing internet, membaca majalah terbitan luar negeri, atau nonton channel TV yang tidak umum, sehingga mereka memiliki pengetahuan yang relatif tidak seperti kebanyakan orang.
Mereka enggak  melakukan hal-hal yang sudah menjadi kebiasaan, menghindari yang generik apalagi pasaran. Namun tekun mempelajari apa yang dilakukan oleh kelompok Innovator. Jika ada satu dua hal dari ide yang dicetuskan para Innovators dirasa cocok oleh mereka, maka kelompok Early Adopters ini akan mengikutinya. Dan yang berikutnya terjadi, orang-orang ini akan mempengaruhi lingkungan sekitarnya.
Fenomena Bu Tejo adalah validasi teranyar dari situasi ini. Sosial media membangun atmosfer baru, sumber informasi dari orang-orang yang punya pengaruh, dan ketika mereka mencuit, maka hal berikutnya yang terjadi adalah berita viral.
Produk yang diklaim bisa menyembuhkan Corona misalnya, sudah santer diberitakan sejumlah media termasuk harian cetak, namun baru ramai dan hiruk pikuk ketika diangkat profilnya oleh seleberiti seperti Anji.Â
Gerakan demonstrasi yang semula biasa-biasa saja, bisa eksponensial ketika sejumlah tokoh mengumumkan dukungannya dan akan turut turun ke jalan. Semua ini dipicu oleh Early Adopters, Bu Tejo tak bisa ditampik, termasuk salah satunya, sekalipun baru level kampung.
Persoalannya dengan teknologi informasi saat ini, adalah kesenjangan antara brainware dengan software, social skills tidak selaras dengan social tools. Ada jarak yang lebar antara keterampilan orang bersosial media dengan perangkatnya, yang berakumulasi pada sejumlah permasalahan.Â
Ketika Early Adopters-nya menyuarakan hal yang salah, maka banyak masyarakat yang tidak bisa membedakan informasi valid dan abal-abal, ikut dalam pusaran berita yang keliru tersebut.Â
Dalam jangka panjang, kesalahan yang tadinya remeh, menjadi topan badai yang pada banyak hal, harus diatasi dengan dibuatnya Undang-Undang atau aturan pemerintah, semata untuk mereduksi chaos.
Seorang bu Tejo, bisa membuat gaduh satu kampung hanya dari prasangkanya saja, bersumber dari apa yang dia sebut internet seolah paling paham akan hal ini. Dan sayangnya, saya menduga ada begitu banyak orang seperti bu Tejo di dunia. Jadi kalau kita lihat banyak chaos terjadi di dunia karena berita tak valid, itu artinya bu Tejo sukses melancarkan agitasinya. Tanpa kesadaran kita untuk memahami sosial media dengan benar, maka setiap dari kita akan jadi mangsa dari Bu Tejo-Bu Tejo lainnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H