Kurikulum 2013 (K-13) ditetapkan pemerintah untuk mengganti Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan/KTSP 2016, dimana K-13 memiliki 4 aspek penilaian, yaitu pengetahuan, keterampilan, sikap, dan perilaku.Â
Sementara KKNI adalah perwujudan mutu sistem pendidikan nasional, kesetaraan capaian pembelajaran (learning outcomes) yang juga mengacu pada 3 hal, yakni Pengetahuan, Keterampilan, dan Sikap, untuk menghasilkan sumber daya manusia yang bermutu dan produktif.
Kedua program itu digulirkan pemerintah, karena salah satu proyeksinya adalah lulusan yang memiliki keterampilan kerja. Di negara seperti China, SDM yang memiliki keterampilan jumlahnya sangat besar, dan ini diyakini menjadi bagian dari kesuksesan ekonomi negara Tirai Bambu tersebut.
Sebaliknya di Indonesia, lebih banyak lembaga pendidikan non-terapan, sehingga lulusannya cakap pengetahuan namun minim keterampilan.
Program ini secara garis besar banyak mengadopsi sistem pendidikan di Finlandia, sebagai negara yang pendidikannya dinilai paling baik saat ini, bahkan menjadi kiblat bagi sejumlah negara maju lainnya.
Memang ada perdebatan soal sistem pendidikan China dan Finlandia yang bertolak belakang. China berhasil menciptakan SDM yang cenderung meniru secara mekanistis sehingga kemajuan negaranya tercapai. Sebaliknya Finlandia, mengedepankan kreativitas dan inovasi.
Namun secara umum, perubahan yang ditawarkan pemerintah berkonsep activity based, mengubah cara lama yang cenderung teori dan hafalan (rote memorization) ke orientasi keterampilan yang lebih tinggi (high order thinking skills) -yang belakangan populer dengan istilah 21st century skills. Untuk itulah pembelajaran bersifat kontekstual, hands on (praktik) lebih dikedepankan.
Secara garis besar, konsep program ini menggeser banyak hal. Kurikulum yang dirancang berorientasi pada eksperimen dan masalah. Misalnya, di tingkat SD ada yang namanya Tematik Terpadu, mata pelajaran yang diambil berbasis aktivitas. Kemudian penekanan pada soft skills, yang diyakini menjadi bagian penting dari keberhasilan seseorang di era modern ini.
Namun kendala terbesar dari program ini adalah implementasinya. Jangankan mereka yang bukan pegiat pendidikan, para guru yang kesehariannya belajar mengajar pun kesulitan menerapkan K13, ataupun konsep KKNI secara utuh dan benar.
Yang masih kita lihat saat ini, ujian terstandarkan melalui UN masih tetap ada, sekalipun tidak lagi sebagai syarat kelulusan yang utama. Pekerjaan Rumah (PR) di sejumlah sekolah juga masih diberikan oleh guru-guru, yang menilai bahwa ini penting untuk bekal pengetahuan siswa.
Padahal di Finlandia, konsep yang dikedepankan adalah "sedikit mengajar, belajar lebih banyak, tidak ada PR berlebihan, sedikit ujian, dan siswa tidak ada yang tinggal kelas (konsep drill -mengulang-ulang pelajaran- ternyata tidak relevan dengan kualitas lulusan). Pada akhirnya, berujung pada tidak adanya lagi program les tambahan di Finlandia.