Sekarang, tinggal bagaimana kita melihat semua ini sebagai peluang. Rainier Hoesin Daulay mungkin bisa menjadi role model, bagaimana konsep halal di terapkan dengan kopmposisi yang tepat. Pendiri Rhadana Hotel ini menangkap tren halal sebagai kesempatan.
"Halal itu bukan soal agama, ini soal nilai yang berbeda, halal itu pilihan, halal itu kesempatan, halal itu sehat," kata Rainier kepada tim redaksi majalah Money&I, majalah bisnis bulanan yang saya pimpin redaksinya. Â Sebelumnya, lulusan Teknik Elektro UI ini tidak pernah berpikir untuk terjun di industri halal, ia hanya ingin di setiap kamar hotel miliknya, terdapat Alquran dan perlengkapan ibadah.
"Tak ada maksud apa-apa, hanya ingin memberi kemudahan bagi mereka yang ingin melakukan ibadah tanpa harus repot mencari perlengkapan yang dibutuhkan," ujarnya. Sementara bagi mereka yang non muslim, dijamin tidak akan tergangggu. Sebab, perlengkapan ibadah tersebut diletakkan di tempat khusus. "Inilah kekuatan kami. Produk kami moslem friendly, halal lifestye, dan kami berada di Bali yang sangat toleran, hidup berdampingan saling menghormati, kebersamaan yang indah. Kami juga hanya menyajikan makanan dan minuman halal, meskipun pelanggannya 85% adalah non muslim," ungkap ayah lima anak ini.
Rainier memulai bisnis hotelnya sejak tahun 1990, mendirikan Hotel Ambhara di Jakarta, bermitra dengan Bapak Abdul Latif, namun kemudian kerjasama itu berakhir, dan di tahun 2002 ia mengoperasikan hotelnya yang berada di Bali. Di hotel inilah ia menempatkan Alquran di setiap kamarnya. Alquran-nya pun khusus, dirancang exclusive dalam 3 bahasa, dan sekarang justru sering ditanyakan oleh tamu-tamu hotel, dan kerap dijadikan souvenir.
Di restorannya pun, hanya menyediakan makanan dan minuman halal. Â Mulailah orang-orang meramaikan hotel ini sebagai hotel dengan konsep syariah. Sekalipun bagi Rainier sendiri, menjual sesuatu hal yang halal adalah sebuah peluang. Tinggal bagaimana kita mengkomunikasikannya.
"Wisata halal tak harus memakai istilah dan bahasa syariah, dan tak perlu label khusus, seperti hotel syariah. Saya muslim, tapi saya tidak memberi label hotel saya sebagai hotel syariah, tapi "modern muslim friendly hotel. Meski tak berlabel hotel syariah, hotel ini mengimplementasikan praktek-praktek syariah, mulai dari kamar hotel hingga restoran yang bersertifikasi halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI)," ujarnya lagi.
Agar tetap menghormati budaya Bali, dan konsep syariah dapat dipraktekkan sesuai tempatnya. Karyawan hotel tetap berpakaian khas Bali. Upacara keagamaan yang dilangsungkan di hotel juga tidak menggunakan bahan-bahan yang diharamkan, tapi disediakan semua sarana yang diperlukan dengan kualitas terbaik. Masakan dan makanan halal jauh lebih higienis dan aman daripada makanan non halal. Tinggal bagaimana menjelaskan bahwa hal tersebut tidak selalu dikaitkan dengan agama. Jadi sekalipun moslem friendly, halal lifestye, dan berada di Bali yang toleran, kombinasi ini justru melahirkan sebuah produk yang unik.
"Saat ini, terjadi tiga perubahan besar di dunia tourism, yakni digital tourism, China tourism dan halal tourism. Halal tourism ini menjadi new trend in the world. Indonesia sudah bisa menjadi kiblat industri wisata halal. Buktinya, di ajang World Halal Tourism Award tahun 2016 lalu, Indonesia menyapu bersih 12 kategori yang diikuti dari 16 kategori yang dilombakan," lanjut Rainier. Hotelnya sendiri telah dinobatkan sebagai World's Best Family Friendly Hotel 2016 diajang bergengsi tingkat dunia Halal Travel Award's 2016 (WHTA 2016) yang diumumkan 7 Desember 2016 di Abu Dhabi dan Spanyol. Dan di Kuala Lumpur akhir tahun 2017 lalu, Rainier meraih Asia Halal Brand Awards 2017.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H