Ketika Adam diturunkan dari surga,  Bumi tak punya punya tapal batas, tak pula kibar bendera yang  dikerek norak, tak ada petugas imigrasi yang tanpa senyum bertatap curiga. Tak ada serdadu berlaras yang berjaga, agar batas-batas itu tak di terjang pendatang.
Sejarah bergulir, peta dicetak, batas ditetapkan, ibukota didirikan, dan perebutan kekuasaan mulai berjalan. Imigran tak lagi bebas, moncong senapan tak sepadan untuk jiwa yang hilang, pun demi kebebasan yang diinginkan, bahkan untuk menjalankan keyakinan bermunajat kepada tuhan.
Salah satunya dimulai oleh Kanaan, bangsa yang datang dari Tenggara, 2500 tahun sebelum Sang Juru Selamat dilahirkan, ia menetapkan kota selaksa nama Dewa, bertutur Jerusalem.
Sejak itu, rangkaian perebutan kekuasaan berganti panggung, dari Tabut Perjanjian, sampai Tembok Ratapan, dari para raja, hingga Daud yang melegenda. Olehnya pula Jerusalem menjadi ibukota. Namun berabad kemudian, berganti kuasa oleh Titus sang Romawi.
Di abad perdana setelah masehi, giliran Khalifah Umar Bin Khattab yang berkharisma, estafet kuasa berlanjut oleh Shaalahuddin Al Ayyubi, kemudian bangsa Mesir dan para Usmani Turki, hingga kemudian kota tua Jerusalem, setelah berkali-kali dibangun, dihancurkan, dibangun kembali berulang dan ulang, akhirnya ia tak lagi punya tuan. Wilayah 3 agama ini, berbagi lahan, bertahun-tahun dalam kecemasan.Â
Hingga 1 pekan, ketika presiden adi kuasa mencoba membuat garis merah petanya sendiri, menetapkan Israel sebagai empunya yang berhak.
Tak ada jejak darah Amerika di tanah ini, tak pula peluh mereka tumpah. Darah mereka sudah terkuras untuk para Indian, suku-suku pedalaman yang kehilangan rumah dan peran.Â
Darah mereka sudah tumpah, untuk mencincang si kumis laknat yang berakhir nahas di bangkernya, darah mereka sudah tumpah, untuk membalas sakit hati para Samurai, darah mereka sudah tumpah, untuk Vietnam yang tak berakhir dengan kemenangan. Lalu apa sangkanya, berhak menentukan sejarah bangsa lain tanpa kenan?
Tak jauh dari gerbang Damaskus, ada makam kudus, bagi para Nasrani dunia berziarah kesana. Disini ada Al Aqsa, tempat Nabi Muhammad SAW dimalam Isra Miraj berdoa, ada pula Dome of the Rock, tempat para Ibrahim dan Ismail menyampaikan tutur kebaikan untuk berbagi, berkurban, dan menjadi panutan semua agama di tanah ini. Lalu apa sangkanya, berhak menentukan sejarah bangsa lain tanpa kenan?
Berkaca dari April 1990, sebagaimana di tuturkan Goenawan Muhammad dalam Catatan Pinggirnya, Kristen seluruh dunia murka, gereja Makam Kudus bersama gereja di Teritori Tua Palestina satu suara, ketika bangunan Nasrani diubah namanya menjadi Ne'ot David, bintang Daud. Â
Cerita bermula ketika sebuah kongsi Panama, dengan uang US$ 3,5 juta, memimpin gerakan Gush Emunim (blok orang beriman), yang ingin mentitahkan perintah agama, bahwa Israel harus mekar dan membesar. Di antara kader Gush Emunim, terdapat Matihuyu Hacohen, orang pertama Yeshiva, yang berdiri di malam pertama Hanukkah 1978, Yeshiva adalah Mahkota Pendeta, madrasah untuk para Yahudi.
Matihuyu Hacohen tak ingin perebutan dengan kekerasan, dengan hunus pedang dan belati, atau anak panah yang terbang. Ia menduduki dengan uang, memulai proyek reklamasi Jerusalem, Â membeli 1100 tanah dan bangunan di wilayah muslim, yang padat dengan 50 ribu umat. Namun terjadi perlawanan, ini jelas bukan pertempuran terakhir sebelum kiamat menjelang, ini masih panjang.
Kini Bintang Daud itu kembali ingin merebut, ini giliran kita untuk bersuara, sikap nyata mengambil peran. Mungkin, dengan keberanian 'ide gila' untuk klaim deklarasi Jerusalem sebagai ibukota Palestina, betul bertentangan dengan pakta perjanjian, tapi bukankan itu pula yang dilakukan Amerika?
Atau mungkin dengan keberanian untuk tak lagi bernegosiasi dengan mereka, lepas dengan segala konsekuensi ekonomi yang mungkin berbalik memberatkan kita, tapi bukankah ini soal agama, keyakinan yang harusnya tak juga bisa di tawar?
Atau mungkin dengan terus mengingat, ada kapitalis tak beragama yang sedang mencoba membuka gerbang neraka.
Apapun itu, melawanlah, lakukan dengan benar, setidaknya lewat doa.., jangan diam!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H