Persoalannya, dengan kebijakan yang "menggiurkan" ini, menjadi stimulasi bagi pembayar pajak untuk pengampunan. Uang yang mestinya digunakan untuk modal diputar, sekarang dialokasikan untuk masuk kas negara.
Jadi, pemerintah mau bikin infrastruktur, butuh dana, karenanya di ambil dari pengurangan subsidi dan pajak. Di kelas menengah bawah, kedua hal ini bak "tendangan seribu bayangan" dari Wong Fei Hung.Â
Dan inilah yang menjelaskan kenapa grocery lost -istilah lembaga riset Nielsen, mencapai Rp 37 triliun. Karena uang di masyarakat tergerus, yang seharusnya menjadi modal kerja, dialokasikan untuk pajak dan menurunkan produktivitas, serta pencabutan subsidi yang menyebabkan kemampuan belanja terjun bebas.
Tapi katanya hal ini terjadi karena shifting, pergeseran pola belanja dari konvensional ke online? Mari kita bahas dengan rasional, khususnya terkait dengan era digital.
Industri digital menjadi trending topic dekade terakhir, puncaknya di tahun ini ketika banyak toko retail bahkan dengan brand asing keok, alibinya karena online. Adapula soal model bisnis dan financial technology (Fintech) yang jadi isu. Kita bedah satu-satu untuk melihat proyeksinya di tahun depan.
Pertama, jika kita lihat data Nielsen (4), transaksi online hanya Rp 1.5 triliun, sementara penurunannya Rp 37 triliun, jelas tidak signifikan. Jadi shifting dari mananya? Harga barang-barang juga tidak naik (inflasi stabil rendah). Alasan yang lebih tepat, sudah dijabarkan di atas, karena pendapatan masyarakat berkurang. Lainnya, karena masyarakat mulai berjaga-jaga, wait n see dengan apa yang terjadi, sehingga uang mereka disimpan ke bank, dan ini yang menjadi alasan mengapa simpangan di bank naik Rp 500 triliun (5).
Kedua, model bisnis berbagai startup banyak yang tidak relevan dengan tujuan sebuah usaha. Yang namanya bisnis, harusnya cash flow oriented, dengan uang masuk lebih banyak dari uang keluar, dan mampu membiayai semua organ dalam organisasi tersebut. Nyatanya, rintisan digital banyak dibuat dengan tujuan kapitalisasi nilai, ujung-ujungnya mengejar exit jika ada investor. Padahal, nggak generate income(6).
Asumsinya, kalau kapitalisasinya tinggi, nanti akan ada pemasukan, persoalannya, model bisnisnya tidak memberikan ruang untuk adanya pemasukan yang cukup untuk membiayai bisnisnya. Iklan saja, tidak signifikan. Maka yang terjadi, startup bergelimpangan, tahun depan, rasanya akan lebih banyak lagi yang bergentayangan. Bahkan beberapa mungkin dari brand-brand besar, bukan tidak mungkin terjadi pada Twitter yang sudah mulai "kemas-kemas", karena kabarnya tahun ini, (lagi) akan merumahkan ratusan karyawannya (7).
Bagi startup skala kecil, masih bisa bertahan, karena belum ada biaya operasional yang besar, sekalipun belum ada pemasukan. Tapi yang menengah, akan mulai berguguran, ini yang paling banyak.Â
Mereka harus menemukan model bisnis yang tepat. Aplikasi agen perjalanan misalnya, yang mendapatkan keuntungan dari komisi transaksi, sekalipun ada investor, mereka gunakan uangnya untuk promosi, sehingga penjualan tiket terkadang bisa lebih murah di aplikasi traveling daripada di maskapainya sendiri, karena mereka subsidi, namun itu dilakukan sebagai salah satu strategi, karena toh revenue center-nya memang sudah ada. Tapi yang tidak ada, dan hanya berharap kapitalisasinya naik karena user-nya tinggi, traffic-nya banyak, maka siap-siap mengencangkan ikat pinggang. User dan traffic bukan jaminan --dan ini cukup terbukti selama beberapa tahun ini- apalagi netizen milenial berkarakter tidak loyal.