Tidak banyak keterampilan yang saya kuasai, ini yang mengharuskan saya untuk jeli dan rapi mengatur banyak hal dalam diri saya, termasuk soal personal finance. Dan sejak SMP sampai hari ini, pola saya mengatur keuanganan tidak pernah berubah, saya harus tahu darimana uang saya berasal, dan kemana uang itu keluar. Malahan sejak kuliah, saya sudah membuat catatan pengeluaran bulanan. Ketika sudah kerja, saya menggunakan sistem budgeting (manajemen amplop bahasa gampangnya), agar memberikan warning kalau saya mulai “emosional”.
Satu-satunya yang tidak masuk dalam catatan secara khusus adalah pengeluaran untuk kegiatan sosial.Tadinya saya berpikir ini nggak terlalu penting untuk dicatat, tapi sejak beberapa tahun lalu, saya mulai buat row baru di catatan file excel saya, paling bawah, judulnya social expenses, ini untuk mencatat semua pengeluaran sosial, mulai dari yang wajib seperti Mal, fitrah dan Kurban, juga lainnya seperti bantuan kemanusiaan atau bahkan yang terkecil seperti infaq pas jumatan. Semuanya saya masukkan dalam pos ini. Dan baru kemarin, ketika mulai rekap catatan akhir tahun, saya menemukan fakta menarik (lihat grafik).
Dari tahun 2010 ke 2011, pendapatan saya naik 32%, ini cukup besar, ada sejumah proyek baru yang saya dapatkan sebagai rejeki yang saya syukuri. Tapi entah khilaf -atau mungkin lebih tepatnya bodoh-, pengeluaran untuk kegiatan sosial tidak bertambah, sama persis seperti tahun sebelumnya. (Bayar yang wajib tentu mengikuti proporsional -2,5% dari penghasilan-, ini berarti ada pengeluaran sosial lain yang berkurang). Dari tahun 2011 ke 2012, pertumbuhan pendapatan saya menurun drastis, hampir sepertiganya, walaupun tetap di syukuri, masih bertambah diatas inflasi, dan di periode tahun ini pengeluaran sosial naik hingga 39%.
Yang kemudian terjadi di tahun 2013, pertumbuhan pendapatan saya turun lagi menjadi 8%, hampir rerata sama dengan laju inflasi. Tapi di tahun ini, pengeluaran sosial saya naik hingga 188%, tertinggi dari yang pernah saya lakukan. Dan yang terjadi di tahun 2014, pendapatan saya naik 48%, pertumbuhan tertinggi yang pernah saya dapatkan sejak berkarir sebagai wirausaha. Ada banyak proyek saat itu, mulai dari pembuatan buku biografi sampai mengerjakan hingga 3 brand majalah sekaligus dalam waktu yang sama.
Tapi sayangnya di tahun tersebut, saya kembali ingkar, entah karena bodoh oleh kesibukan atau karena memang selama ini pengeluaran sosial tidak pernah saya atur secara serius. Pengeluaran sosial saya malah berkurang 1% dari sebelumnya. Ujung-ujungnya, penghasilan di tahun 2015 terjun bebas, hanya tumbuh 16%, sekalipun ini masih cukup baik menurut saya. Namun di tahun tersebut, lagi-lagi karena bodoh oleh kesibukan, pengeluaran sosial saya cuma naik 4%, dan apa yang terjadi pada tahun ini? Sekalipun belum tutup buku, dengan kalkulasi estimasi karena tinggal sebulan lagi, maka untuk pertama kalinya sejak saya mencari nafkah sendiri dalam 14 tahun terakhir, penghasilan saya menurun sekitar 9%.
Data ini menunjukkan beberapa hal :
Pertama, ketika pengeluaran sosial tidak dinaikkan, maka pertumbuhan penghasilan saya ditahun berikutnya terjun bebas.
Kedua, ketika pengeluaran sosial saya naikkan sedikit, tidak memberikan pengaruh besar terhadap pertumbuhan pendapatan, berkurang sekalipun tidak sampai terjun bebas.
Ketiga, ketika pengeluaran sosial naik cukup besar, penghasilan di tahun berikutnya menjadi eksponensial, naik menjulang tinggi.
Keempat, ketika kita punya penghasilan yang naik secara exponensial dan kita tidak berbagi dengan pengeluaran yang juga mestinya naik exponensial, maka yang terjadi di tahun berikutnya, penghasilannya justru turun, bukan hanya penurunan pertumbuhan, tapi secara nominal duitnya berkurang dari tahun sebelumnya.
Di tahun ini source income saya memang berkurang, ada rumah sewa yang saya jual, dulunya ini pemasok duit bulanan. Juga udah nggak pernah nerbitin buku lagi, royalti yang masuk sudah setipis dan setajam silet, cuma berasal dari yang terbit tahun 2012. Dan investasi di bisnis masih dalam early stage, belum menghasilkan. Tapi apapun alasannya, ini situasi yang memvalidasi teori The Power of Giving. Semakin banyak kita memberi, maka semakin banyak akan kembali. Dan dalam kasus saya, kita harus memberi dulu (give), baru nanti akan balik (get) dengan sendirinya, jadi bukan mengharapkan dapat gede dulu baru kemudian memberi, lihat apa yang terjadi pada keuangan saya di tahun 2015-2016.
Saya pikir ini bisa jadi pelajaran buat banyak orang, jangan pernah takut berbagi, dan sebagai pengingat buat saya pribadi, untuk mulai serius memberikan perhatian pada pengeluaran sosial, mungkin perlu saya budgeting kali ya mulai tahun depan, dikasih persentase sesuai dengan alokasi rasio pendapatannya..he..he.. kalau pun tidak dibalas sekarang, mungkin nanti di konversi jadi reward buat masuk surga.. amin!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H