Bismillah,
Cinta menjadi dasar dari setiap hubungan yang sehat, termasuk dan terutama dalam konteks keluarga. Ketika berbicara tentang cinta antara orang tua dan anak remaja, kita sering kali berpikir tentang bentuk kasih sayang yang sederhana seperti memeluk atau mengucapkan kata-kata manis. Namun, cinta sejati jauh lebih dalam daripada sekadar ekspresi fisik atau verbal. Cinta yang autentik adalah fondasi yang kuat dan kokoh yang menjadi dasar bagi perkembangan psikologis dan spiritual (baca= keimanan) seorang anak. Dalam pandangan Islam, cinta yang diberikan oleh orang tua adalah wujud rahmat Allah SWT, yang harus disalurkan dengan penuh keikhlasan dan tanggung jawab.
Kisah Nabi Ibrahim AS dan putranya, Ismail AS, adalah salah satu contoh terbaik dari cinta yang tulus dan murni yang berlandaskan iman. Ketika Nabi Ibrahim AS menerima perintah dari Allah SWT untuk mengorbankan Ismail, ia tidak melakukannya tanpa memberitahu atau tanpa melibatkan putranya. Sebaliknya, ia dengan penuh kasih mendiskusikan perintah ini dengan Ismail dan meminta pendapatnya.Â
Sikap ini bukan hanya menunjukkan cinta, tetapi juga penghormatan terhadap perasaan dan pemikiran anaknya, meskipun ia masih sangat muda. Dari sini, kita belajar bahwa cinta orang tua kepada anak tidak hanya tentang melindungi mereka, tetapi juga melibatkan mereka dalam keputusan-keputusan penting, bahkan yang berkaitan dengan ujian iman sekalipun.
Menurut Dr. Yasir Qadhi (Al-Maghrib Institute) , seorang ulama dan cendekiawan muslim, cinta yang diberikan orang tua kepada anak tidak boleh bersifat otoritatif, melainkan partisipatif. Artinya, cinta harus ditunjukkan melalui keterlibatan emosional yang mendalam, di mana orang tua tidak hanya hadir secara fisik, tetapi juga benar-benar terlibat dalam kehidupan anak-anak mereka. Ketika remaja merasa dicintai dan dihargai, mereka lebih mungkin untuk mengembangkan rasa percaya diri yang kuat dan mampu menavigasi kehidupan dengan lebih baik.Â
Penelitian yang diterbitkan dalam Journal of Family Studies menunjukkan bahwa remaja yang merasa dicintai oleh orang tua mereka memiliki risiko lebih rendah untuk mengalami gangguan emosional dan lebih sedikit kecenderungan untuk terlibat dalam perilaku berisiko. Merasa dicintai oleh orang tua bermanfaat bagi perkembangan remaja, memprediksi tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi. Ini berkorelasi dengan peningkatan otonomi, tujuan, dan pertumbuhan pribadi, mengurangi tekanan emosional dan perilaku berisiko. (Xia et al. 2024).
Cinta juga berarti memberikan ruang bagi anak-anak untuk berkembang sesuai dengan potensi dan bakat mereka. Islam mengajarkan kepada kita, bahwa setiap anak dilahirkan dengan fitrah yang unik, dan tugas orang tua adalah membantu mereka menemukan dan mengembangkan potensi tersebut. Dalam konteks ini, cinta bukanlah tentang memaksakan kehendak orang tua kepada anak, tetapi lebih kepada memberikan mereka bimbingan dan dukungan untuk menjadi versi terbaik dari diri mereka sendiri.Â
Imam Ibnu Qayyim Al-Jawziyyah, Â menekankan pentingnya memberikan cinta yang murni kepada anak-anak dan menuntun mereka dengan kasih sayang, sehingga mereka merasa nyaman untuk mengeksplorasi dunia di sekitar mereka. Konsep pendidikan spiritual Ibn Qayyim melibatkan menanamkan nilai-nilai ibadah dan pemeriksaan diri, yang sangat penting untuk mengembangkan karakter anak(Azhar et al. 2024)].
Namun, cinta juga membutuhkan keberanian untuk menetapkan batasan. Terkadang, orang tua merasa bahwa membiarkan anak-anak melakukan apa pun yang mereka inginkan adalah bentuk cinta. Padahal, cinta sejati justru melibatkan kemampuan untuk mengatakan "tidak" ketika diperlukan.Â
Penelitian dari Child Development Journal menunjukkan bahwa anak-anak yang dibesarkan dalam lingkungan dengan batasan yang jelas, namun penuh kasih, cenderung lebih disiplin dan mampu mengelola emosi mereka dengan lebih baik. Batasan yang jelas bukan berarti kontrol yang ketat, tetapi memberikan struktur yang dibutuhkan oleh remaja untuk tumbuh dengan aman dan bertanggung jawab.
Dalam Islam, konsep cinta orang tua kepada anak mencakup unsur tarbiyah, yaitu pendidikan yang penuh kasih. Tarbiyah bukan hanya tentang memberikan pengetahuan atau keterampilan, tetapi juga membentuk akhlak dan karakter anak sesuai dengan ajaran Islam. Sebagaimana Allah SWT mencintai hamba-Nya dengan memberikan petunjuk dan bimbingan, orang tua juga harus mencintai anak-anak mereka dengan cara yang mengarahkan mereka menuju kebaikan, baik di dunia maupun di akhirat.
Cinta yang tulus dari orang tua kepada anak remaja bukan hanya soal memberikan apa yang diinginkan oleh anak, tetapi lebih tentang memahami apa yang mereka butuhkan untuk tumbuh menjadi pribadi yang utuh. Pada usia remaja, kebutuhan tersebut meliputi bimbingan, perhatian, dan juga kesempatan untuk berkembang secara mandiri. Sayangnya, banyak orang tua yang salah kaprah dengan mengartikan cinta sebagai pemanjaan atau kebebasan tanpa batas. Padahal, cinta yang sesungguhnya justru melibatkan keseimbangan antara memberikan keleluasaan dan menetapkan batasan yang jelas.
Dalam konteks ini, penting untuk belajar dari Nabi Ibrahim AS yang menunjukkan keseimbangan luar biasa antara kasih sayang dan ketegasan. Ketika Nabi Ibrahim AS menerima perintah untuk mengorbankan putranya, Ismail AS, beliau tidak serta merta melakukan perintah itu tanpa penjelasan.Â
Sebaliknya, ia berbicara kepada Ismail dengan penuh kelembutan dan kejujuran, menjelaskan perintah Allah dan meminta pendapat Ismail tentang apa yang harus dilakukan. Tindakan ini tidak hanya menunjukkan kasih sayang, tetapi juga penghormatan kepada anaknya sebagai individu yang memiliki kehendak dan pemikiran. Hasilnya, Ismail AS merespon dengan penuh keimanan dan ketenangan, mempercayai ayahnya dan keputusan yang diambil bersama.
Cinta yang demikian mendalam ini memperkuat ikatan antara ayah dan anak serta menanamkan rasa percaya dan hormat yang mendalam. Hal ini sesuai dengan prinsip yang diutarakan oleh Imam Al-Ghazali , bahwa cinta kepada anak haruslah disertai dengan penghormatan terhadap hak-hak mereka sebagai manusia dan sebagai amanah dari Allah SWT. Orang tua perlu mengajak anak berdialog, memberikan pemahaman yang jelas tentang nilai-nilai yang dipegang, dan mendengarkan pandangan mereka dengan serius. Ini bukan hanya membangun kepercayaan, tetapi juga mengajarkan anak-anak untuk menghargai pandangan orang lain dan menumbuhkan sikap yang bijaksana.
Lebih jauh lagi, cinta yang sejati melibatkan kemampuan untuk mendukung anak-anak dalam menghadapi kegagalan dan tantangan hidup. Remaja, dengan segala gejolak emosi dan pencarian identitas mereka, sering kali menghadapi banyak tekanan dari lingkungan sekitar, baik dari teman sebaya, sekolah, atau media sosial. Orang tua yang mencintai dengan tulus tidak akan berusaha melindungi anak dari setiap kesulitan, tetapi justru akan membekali mereka dengan keterampilan untuk menghadapinya.Â
Penelitian dari Stanford Graduate School of Education* menunjukkan bahwa remaja yang merasa didukung secara emosional oleh orang tua mereka, terutama dalam menghadapi kegagalan, cenderung memiliki ketangguhan yang lebih besar dan lebih mampu mengatasi stres dibandingkan mereka yang tidak mendapatkan dukungan yang sama.
Dalam Islam cinta juga berarti menginginkan kebaikan dunia dan akhirat bagi anak-anak ,seimbang anatar dunia da akhirat). Ini berarti mengarahkan mereka untuk mencintai Allah dan Rasul-Nya, mengajarkan mereka untuk menjalani hidup dengan penuh kesadaran akan tanggung jawab spiritual dan moral (baca = keimanan dan akhlaq). Cinta orang tua yang benar adalah cinta yang membawa anak-anak menuju pemahaman yang lebih mendalam tentang tujuan hidup mereka, sesuai dengan ajaran agama.
Orang tua dapat menanamkan cinta yang demikian dengan cara membiasakan anak-anak untuk terlibat dalam kegiatan keagamaan sejak dini, seperti shalat berjamaah, membaca Al-Quran, atau menghadiri kajian-kajian Islami. Hal ini tidak hanya mengajarkan mereka tentang kewajiban agama, tetapi juga menciptakan ikatan emosional yang kuat antara orang tua dan anak melalui kegiatan bersama yang bermakna.
Sebagai penutup, cinta yang paling efektif adalah cinta yang menyatukan hati orang tua dan anak dalam ikatan yang kokoh dan tulus. mencintai anak remaja sebagaimana dicontohkan oleh Nabi Ibrahim AS, orang tua tidak saja membangun hubungan yang harmonis, tetapi juga menyiapkan mereka untuk menjadi individu yang bertanggung jawab, penuh kasih sayang, dan memiliki iman yang kuat.Â
Cinta yang demikian bukanlah cinta yang lemah atau permisif, melainkan cinta yang membimbing, menguatkan, dan memuliakan. Kita sama sama belajar sosok ayah seperti nami Ibrahim, bapak para nabi.
Allahu a`lam bishowwab. Bersambung insya Allah masih dalam tema seputar mendidik sedekat sahabat.
Sobat-sobat budiman, bila menemukan hal yang tidak pas mohon dikoreksi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H