Aku (Binatang atau Manusia)
Aku sangat terkesima setelah membaca banyak hewan yang harus mati setelah berhubungan badan dengan pasangannya. Eh, tepatnya demi kelangsungan keturunannya, sang jantan rela mengakhiri hidupnya. Benar! Demi kelangsungan hidup generasinya. Ritual menjelang ajal yang mengasyikkan.... Mungkin saja!
Setidaknya ada sepuluh binatang bahkan lebih yang rela mati yaitu laba-laba orb-weaving, laba-laba berpunggung merah, lintah pisang, anakonda, gurita, jangkrik sagebrush, laba-laba peloncat dan black widow, bonglon labord, dll. Â Mereka memakan pasangannya setelah berhubungan badan.
Aku makin terkesima menyimak induk ikan salmon, demi menghargai pengorbananya aku akan menyebutnya ibu ikan salmon. Demi untuk kelangsungan keturunannya sang ibu rela menempuh perjalanan dari samudera Atlantik menyusuri sungai hingga hulu. Sebuah perjalanan panjang, sebagian besar kandas di tengah jalan entah tertangkap nelayan, beruang atau binatang lainnya.
Ibu ikan itu bukan berarti tak tahu kalau untuk sampai ke hulu sungai melepaskan telurnya taruhannya adalah nyawanya. Dalam hati mungkin ibu salmon itu akan berkata, "Apa gunanya aku hidup berlama-lama jika nantinya akan mati juga."
Aku sedang tidak ingin membahas tentang kematian. Walaupun setiap yang bernyawa pasti akan mati. Hanya bagaimana mereka semua berkorban demi kelangsungan generasinya. Mereka juga tak berharap terimakasih dari keturunannya.
Kisah kita lanjutkan!
Saat seorang nenek datang ke tukang service hp dan mengeluhkan gawainya rusak. Mari kita simak obrolannya:
"Nak, jangan-jangan hp ini rusak," kata nenek.
Tukang service memeriksa dengan seksama gawai yang disebut rusak oleh nenek. Sepertinya semua berfungsi dengan baik.
"Hp ini tidak ada yang rusak. Hp nenek baik-baik saja. Semua bisa berfungsi layaknya hp normal."
"Pasti rusak! Wong tidak ada berbunyi sama sekali begini kok!"
Nenek nyolot setengah marah. Nenek yakin gawainya rusak.
"Tidak, Nek. Hp ini baik-baik saja," bela tukang service.
"Wong dikasih tau rusak kok gak percaya sih!"
Si nenek tetap saja ngotot dan mulai berang. Memaksa minta diperbaiki.
Maka si tukang service mencari tau kenapa hp itu disebut nenek rusak.
"Kalau tidak rusak, harusnya setiap malam hp ini berbunyi."
"Memangnya sekarang tidak berbunyi ya?"
"Iya, sudah beberapa bulan hp ini tak pernah berbunyi lagi. Padahal bunyi itulah yang aku rindukan."
"Bunyi apa sih yang nenek rindukan?"
"Iya! Dulu biasanya apabila menjelang tidur, hp ini berbunyi. Terus aku klik tombol ini," katanya sambil menunjukkan apa yang ditekan.
"Ooo...."
Benar! Ada yang rusak ternyata. Tukan service manggut-manggut sambil matanya mulai berkaca-kaca.
Bunyi dari gawai itu adalah bunyi panggilan seseorang yang jauh entah di mana. Bunyi yang begitu dirindukan oleh sang nenek. Hidup sebatang kara memang sungguh menyiksa. Dalam sisa hari tua, sepi selalu jadi teman abadi.
Benar-benar ada yang telah rusak, tapi bukan pada gawainya.
Apakah ini alasan mengapa ada ritual menjelang ajal yang mengasyikkan tadi? Atau apakah ini alasan ibu salmon rela meregang nyawa demi anak tercinta? Entahlah. Dunia binatang memang sulit diterka.
Lalu aku mulai bertanya, "Aku binatang atau manusia?"
Saat hujan gerimis mulai jatuh perlahan, malam ini. Seorang diri! Rumah megah atau gubuk derita, ngontrak atau layaknya singgasana. Siapa yang mampu memberikan hiburan! Membuat hati tenang. Tidur bukan lagi jadi jalan terakhir melepas kepenatan.
Nenek mencari cucunya. Ibu mencari anaknya. Kekasih mencari yang tercinta. Seberapa besar pengorbanan telah dilakukan. Buah yang dipetik apa? Entahlah....
Jika kalian jadi aku, kalian akan berkata apa?!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H