Terlalu Banyak
Rumahku sebenarnya indah, ada di tengah kota. Mulanya aku ingin banyak yang melirik saat melintas di depannya. Kubikin unik.
Halaman sangat luas, satu persatu bunga kubeli lalu kurawat. Kususun rapi. Memang memang harum dan sedap dipandang mata.
Hari berlalu, satu persatu bunga tumbuh besar, beranak pinak hingga halaman akhirnya penuh sesak. Rumahku hampir saja tak terlihat.
Suatu kali seorang teman berkunjung, berkali-kali ia melintas. Katanya sulit menemukan rumahku. Ciri-cirinya ia hapal, aku yang berikan. Akhirnya pulang sebelum masuk pekarangan.
Aku berpikir, apa yang salah dengan bunga-bunga. Bukankah ia harus tumbuh setiap harinya. Harusnya ia mampu menjadi penyejuk mata. Mampu mengharumkan ruangan. Minimal pekarangan. Mengapa temanku malah enggan?
Haruskah bunga-bunga itu aku buang, aku semprot dengan disinpektan. Layu kamudian mengering dan mati. Dilema memang.
Jila bunga-bunga tak ada lagi, berarti aku harus menata ulang. Pekarangan tentu saja akan gersang.
Atau aku harus ganti teman, pilihan sulit memang. Teman atau tanaman. Keduanya memang sangat aku butuhkan. Minimal tempat berbagi.
Dengan teman aku berbagi pengalaman. Dengan bunga aku bisa mencium semerbak harumnya. Tak mengapa orang tak ingin melirik indah rumahku, asal bunga masih bermekaran. Asal temanku bersedia mampir dan tak sulit menemukan.