Lelaki Paruh Baya dengan Ingatanya
Lelaki paruh baya berdiri di tanah lapang
Pohon hijau tinggi rindang jauh di ujung mata memandang
Ia sendirian
Langit mendung
Petir sewaktu-waktu bisa saja menyambar
Masa lalu selalu berkelindan dalam ingatan
Saat itu begitu banyak kaki-kaki jenjang
Wajah-wajah riang
Berkeliling kemudian memberi salam
Kadang tak sedikit yang mengajak bercerita
Tentang cara menghindar dari lebatnya hujan
Bagaimana agar mimpi indah datang
Kali ini ia benar-benar sendirian
Beberapa yang datang menundukkan muka
Ia tak mengenalnya
Walau sedemikian ramah memasang muka
Tetap saja berbeda
Rautnya tak seindah sahabat lama
Demi ingatannya
Ia coba bertahan, melambai-lambai
Sambil memanggil-manggil nama
Orang-orang yang dahulu dikenalnya
Semakin lama suaranya semakin pelan
Semakin lirih,
Lalu hanya gumam
Dalam kesepian
Jika tetap begini, sebentar lagi
Mungkin ia akan pergi
Entah kapan akan kembali
Asing dari keterasingan
Jadi siksa yang tetap menantang
Sekali kalah ia tak menyerah
Lalu kalah lagi
Ia mencoba melupakannya
Saat kalah terakhir kali
Baginya mungkin lebih baik pergi
Mencari tempat berteduh yang lebih rapi
Di mana napas dihargai
Di mana berdiri menjadi sama tinggi
Di mana terlentang dalam canda riang sungguh mengasyikkan
Dengan orang-orang yang punya pengertian
Maafnya seluas lautan
Meskipun bergelimang salah
Disambut dengan senyuman, seraya berkata, "Mungkin ia khilaf. Lebih baik aku maafkan."
Detik dem detik
Diujung penantian
Saat ia sendiri
Tak banyak yang ia inginkan
Hanya berteman
Tak lebih tak kurang
Tb, 23 Pebruari 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H