Pukul 21.00 hingga 23.00 waktu yang asyik buat ngobrol sebenarnya. Sambil bakar jagung, singkong atau ayam. Yang satu bikin sambelnya, yang lain kipas-kipas. Mantab boneng!
Apa obrolan yang paling seru saat itu? Kalau bakar ayam, ntar siapa yang minta  sayapnya? Yang nawarin pasti yang tukang bakar. Yang tukang sambel nyeletuk, awas saja jika aku kebagian tulang. Aku akan kasih garam banyak-banyak di sambel ini.
Yang lagi main domino sama catur cuek aja. Sekali dua mungkin menoleh ke arah bakaran. Sesekali menelan air liur. Apalagi yang telinganya paling nanyak dijepit karena kalah.
Tau kenapa kira-kira? Ia bukan lapar atau ingin daging, tapi karena kuping sudah tipis kaya lempeng. Sakitnya sampai ke jantung.
Dijepit sih, siapa juga bisa merasa. Sakit sih sakit tapi tak sakit banget juga. Yang sakit itu karena lama. Artinya yang bersangkutan selalu kalah dalam setiap episode.
Kalah pun tak akan membuatnya sakit hati. Yang sakit kupingnya bukan hatinya. Tak ada ururan kuping sama hati.
Baca Juga: Suda Salah, Telan Saja....
Nah, ternyata salah satu rahasa mengapa kalah itu menyakitkan adalah gojlokan yang keluar dari mulut lawan.
Coba jika mereka berkata, kambing yang bodoh saja tak mau kupingnya dijepit. Ini ada yang mau? Atau dengan bahasa yang rada sopan tapi sakitnya bukan kepalang. Sini aku gantikan. sebiji jepitan tak mengapa, yang penting tenggang rasa, senasib sepenanggungan. Aduhaii!!
Sudah jatuh tertimpa tangga, sudah sakit terinjak digilas pula. Menyedihkan!
Dalam sebuah kompetisi, kalah atau menang adalah hal biasa. Begitulah yang sering dikatakan orang. Namun, jika kalahnya berkali-kali. Seperti apa rasanya? Yang menang harusnya tenggang rasa. Tapi mungkinkah?