Perjalanan ke luar kota memang menang paling mudah menggunakan taksi jemputan. Istilahnya kalau di tempat kami, mobil travel. Biar mahal sedikit tapi bisa antar sampai rumah.
Perjalanan yang paling nikmat tentu saja malam hari. Setelah masuk mobil, begitu bangun sudah sampai tujuan.
Saat itu saya lagi mau menjenguk keluarga. Maka naiklah mobil travel. Nunggu di depan rumah. Kebetulan mobilnya masih kosang, jadi hanya berdua dengan sopir. Nikmat memang tidak berdesak-desakkan.
"Bang, kita mampir dulu ya nanti jempung penumpang lainnya," kata sopir.
"Inggih Pak," jawab saya.
Malam itu mobil meluncur ke tempat yang melenceng jauh dari jalan raya. Kayanya jalan ini belum pernah saya lewati, dan tidak kenal sama sekali.
"Ini mau kemana, Pak?" tanya saya lagi.
"Taman gubernur," jawabnya singkat.
Tamannya sungguh indah di malam hari, kelap kelip lampu warna warni. Banyak tenda-tenda berdiri. Mungkin sedang ada perkemahan, pikir saya.
Baca Juga: Pilkada, Tapi Janji Tinggal....
Seorang yang lebih muda dar saya masuk ke dalam mobil. Agar lebih leluasa tidur nantinya maka saya ambil deretan kursi paling belakang. Nanti jika ada tambahan penumpang saya tak repot-repot pindah dan bergeser.
Setelah macam-macam dimasukkan, mobil pun berangkat.
"Dari mana, Bang?" tanya orang tadi basa-basi.
"Mau menjenguk keluarga. Ini baru berangkat. Tiga hari mungkin akan pulang."
"Oh, asli sini ya?"
"Iya. Taman tadi punya siapa?"
"Punya Bapak,' katanya.
"Pak Gubernur?"
"Iya, ini milik pribadi, Bang. Dipersembahkan untuk para wisatawan yang ingin belibur."
"Yang mengurusi siapa?"
"Pastilah ada, Bang. Kan gubernur. Tak mungkin ngurusi perkara begian."
"Penghasilannya buat siapa?"
"Ya buat bapak lah. He he he..."
"Wah hebat banget ya?"
"Iya, Bang. Makanya menjabat dua periode. Coba tidak ada aturan pembatasan jabatan. Bisa banya periode tuh."
Karena mobil melaju maka obrolan terhenti. Saya pun siap-siap merebahkan diri. Biasa, biar sampai di tujuan nanti segar. Perjalanannya memang panjang. 245 km bukan perjalanan pendek. Minimal 6 hingga 7 jam.
"Aduh!"
Saya terbangun mendengar ada teriakan.
Jalan berlobang, mobil oleng. Hampir saja terjungkal ke gorong-gorong tepi jalan.
"Kok, pak Gubernur tidak tahu ya jalan rusak begini tidak diperbaiki. Bahaya ini, dalam banget, jika salah-salah bisa kecelakaan. Memangnya pak gubernur tidak pernah lewat sini ya?" kata saya.
"Tentu saja sering, Bang. Setiap minggu malah pulang pergi bapak menjenguk ibu beliau," sahut orang itu.
"Memangnya tidak melihat ya, kalau jalan ini rusak parah."
"Tentu saja tidak melihat. Kan beliau naik pesawat pulang perginya."
"Oh pantes."
Saya sih tak puas, tapi apa mau dikata. Bikin capek aja protes-protes.
Nah tak berapa lama setelah itu mobil kami dipepet oleh mobil sangat besar. Roda 16 muatan penuh.
"Mobil yang begini memangnya tidak dilarang ya melintas. Di luar kapasitas ini?" kata saya.
"Kan sebagiannya ada juga yang miliki Bapak. Jelas tidak akan dilarang. Asal lewatnya malam hari." katanya.
"Kok kamu tau banyak sih tentang Bapak?"
"He he he, saya kan salah satu staf khusus Bapak."
Bongko aku! Teriak saya dalam hati. Pantes serba tau segala tetek-bengek tentang pak gubernur.
Sekalian aja sudah kadung basah, "Berarti ilegal dong usahanya?"
"Lah yang kita sedang duduki ini juga ilegal, Bang. Nikmat saja tuh. Malah memudahkan. Coba naik taksi resmi. Tidak akan seenak ini. Harus nunggu esok pagi. Harus ke terminal, harus antri dan lain-lain," pungkasnya.
Cilaka dua belas kalau begitu, saya kena semprot, sopir juga kena, ia apalagi. Semua mandi malu lah jadinya. Wkwkwkwkw...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H