Mohon tunggu...
Bledhek
Bledhek Mohon Tunggu... Operator - ____________

Pengkhayal LEPAS

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

"Purancang maka Menyelingit Pulang", tentang Bahasa dan Budaya Banjarmasin

1 Februari 2021   11:45 Diperbarui: 1 Februari 2021   12:42 324
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi goerie.com


Bahasa daerah kadang sulit diterjemahkan oleh pemakainya, namun dipahami dengan jelas. Seperti istilah "purancang" dalam pemaknaannya berarti orang yang begitu banyak omong.

Tidak sekedar banyak omong saja, melainkan hampir dalam setiap kesempatan hanya suaranya yang terdengar. Tidak peduli orang lain sedang membahas topik apa, orang ini menyampaikan apa yang ada dibenaknya dan minta didengar oleh orang lain.

Si "purancang" merupakan cap negatif yang diberikan kepada orang yang suka menceritakan orang lain. Ibaratnya, ada acil (sebutan untuk perempuan paruh baya) lewat maka yang bersangkutan sudah punya sekian banyak cerita tentang acil-acil.

Demikian juga ketika ada paman bakso gerobak lewat, segala issu yang pernah santer sepertinya ia kuasai. Mulai dari sejarah adanya bakso gerobak, tentang cara pembuatan basonya, bumbu-bumbu agar kuah basonya nikmat, dan seterusnya.

Si "purancang" sepertinya begitu menguasai segala macam aspek. Dan lucunya, entah lawan bicaranya percaya atau tidak ia tidak peduli. Yang penting baginya, dari mulutnya keluar kalimat-kalimat yang orang lain diminta mendengarkan dan memperhatikannya.

Dalam urusan debat, tentu saja tak seorang pun mampu mengalahkannya. Suara terakhir yang terdengar, suara orang itulah pemenangnya.

Entah kapan mulainya bahasa ini digunakan, yang jelas sampai saat ini masih eksis dan sering dipakai, disematkan pada orang yang banyak omong dan ingin menang sendiri.

Demikian juga "menyelingit", padanan kata bahasa indonesia untuk menyelingit ini tidak ada. Maknanya "menyelingit" adalah sesuatu yang kelewat batas. Dalam hal ini berkaitan dengan kata sifat. Panas, misalnya begitu sangat panas, sering disebut dengan "menyelingit".

Contoh penggunaan kata "menyelingit" juga sering dipakai pada rasa pedas dan dingin. "Pedasnya menyelingit" artinya pedas yang sungguh kelewat pedas. "Dingin menyelingit" artinya dingin yang sangat dingin. Seperti ketika kita memegang es batu. Telapak tangan akan menempel pada es batu tersebut, baru disebut bahwa dinginnya "menyelingit".

Dalam judul ditulisankan, "Purancang maka menyelingit pulang", ini merupakan ungkapan yang diberikan kepada orang yang banyak omong, suka ngerumpi, sementara dari kata-kata dan kalimat yang keluar dari mulutnya tak ada enak-enaknya sama sekali.

Hampir semua percakapannya menyakitkan pendengarnya. Kalau memprotes, protesnya sangat kasar, kejam, dan sadis. Kalau mengata-ngatain orang pasti sangat menyakitkan  hati orang yang dikata-katain.

Mungkin jika saya boleh mengungkapan makna, meskipun tidak mendekati makna sebenarnya arti dari "purancang maka menyelingit pulang" kurang lebihnya adalah "purancang" yaitu banyak omong dan ingin memang sendiri dalam omongannya.

"Maka" adalah kata sambung yang berarti "sudah A ditambah B pula". Dalam kalimat lain, "hibak muntung maka bepander" artinya "saat mulut berjejal makanan malah sambil berbicara".

Sementara "pulang" artinya "lagi" atau pula. Dalam kalimat "sudah guring, maka guring pulang", artinya "padahal sudah tidur, eh tidur lagi".

Jadi ungkapan "purancang maka menyelingit pulang" bermakna "sudah banyak omong, pedas dan menyakitkan hati pendengarnya pula."

Tradisi masyarakat Banjarmasin, Kalimantan Selatan pada umumnya selepas salat subuh (pagi hari maksudnya) biasanya nongkrong di warung-warung jajanan di pinggir jalan. Untuk sarapan pagi dan saling bercerita. Kadang tidak hanya sepuluh atau limabelas menit, bahkan berjam-jam.

Apalagi di daerah "pehuluan", mulai dari Martapura, Sungkai, Kandangan, Berabai, Amuntai, sampai ke Tanjung, kebiasaan nongkrong selepas subuhan sangat kental mewarnai kehidupan pagi mereka.

Nah, ditempat inilah gelar "purancang maka menyelingit pulang" sering digunakan. Sambil ngopi, ngeteh, makan nasi kuning, ketupat, atau ada yang hanya sekedar ingin mendengarkan isau terkini di kampung halaman mereka betah berlama-lama menghabiskan pagi.

Soal disukai atau tidak, si "purancang maka menyelingit pulang" tetap eksis dan dinantikan oleh pendengarnya. Dari mulutnya info terkini dan terupdate seputar kejadian yang ada di kampung itu.

"Biarkan saja, ambil yang baik, buang yang buruk," kata mereka begitu ditanya mengapa masih asyik saja mendengarkan obrolannya.

Itulah uniknya bahasa dan budaya daerah. Masing-masing daerah pasti memiliki hasanah bahasa dan budaya yang mirip-mirip, meskipun menggunakan bahasa yang berbeda. Tapi maknanya identik sama. Ada yang pendiam dan jadi pendengar yang baik, ada yang "purancang maka menyelingit pulang."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun