Mukasyafah di Pojok Rumahku
Syahdan, zaman telah berganti.
Para raja memainkan tongkat kebesaran di lapangan agar warga kota tidak mampu mengikuti peperangan.
Agar tidak sempat menyimak dan mempelajari keahlian seorang prajurit, seperti memenggal kepala musuh dalam peperangan.
Seperti pembantaian hingga musuh lari tunggang langgang.
Permainan di lapangan hanyalah simbol untuk menggambarkan peperangan.
Seperti biduan, menebar senyum dan tertawa cekikikan menutupi baju dengan glamaurnya kebahagiaan dan kemewahan
Daging dan tulangnya penuh kekhawatiran, kesedihan
Sungguh! Sebagian kehampaan
Penonton melihat begitu transparan seolah-olah hanya semilir angin yang sebentar lagi hilang.
Baca Juga Pohon Bidara....
Sampai suatu ketika
Saat turun panggung, satu persatu kulit baju dibuka
Anak tangga keropos dari bagian bawahnya
Menjatuhkan
Menghinakan
Memenjarakan
Ingatan melekat pada sisa lantai panggung terinjak-injak oleh pemain berikutnya
Mengisi peran yang sama dengan perilaku yang tak jauh berbeda
Dari generasi ke generasi
Dari zaman ke zaman
Hanya sedikit terdapat perbedaan
Warna tirai boleh berbeda
Sorot lampu juga sama
Sumber tenaganya dari aliran listrik serupa
Bagaimana bisa?
Dari darah yang kotor akan mengalir tempat kotor
Dari air yang suci akan menyejukkan menghilangkan dahaga
Daging bangkai hanya sedikit yang mau memakannya
Saat penyanyi melambatkan tempo, penari melambatkan tariannya
Saat penyanyi menghentak-tentakan iramanya
Penari meloncat-loncat dengan cepat
Simbol-simbol telah menjadi gambar
Diukir dan dipajang
Megah dalam kamar dan pelaminan
Untuk kemudian diwariskan
Kepada keturunan
Alangkah mengerikan!
TB, 31 Januari 2021
Mukasyafah-penyimpangan