Ikan gabus seukuran paha orang dewasa pun dalam pelukan. Benar-benar saya peluk. Satu tangan memegang insang ikan. Tangan lain memegang ekornya. Posisi pancing masih dalam mulut ikan. Khawatir jika ikan meronta dan lepas, pancing masih ada dalam mulutnya.
Demi keamanan ikan, saya pun menepi ke daratan di ujung sawah dekat pondokan. Sambil berteduh. Terik matahari sudah mula membakar. Hari memang benar-benar menjelang siang. Maklum, sudah berjemur sejak pagi.
Begitu sampai di dekat pondok, karung tempat ikan sudah dipersiapkan. Pancing pun saya coba lepaskan dari mulut ikan. Kebetulan memang pancing berada jauh di dalam rongga mulut ikan.
Begitu mulut ikan saya buka. Saya dibuat hampir mati seketika saking terkejutnya. Saat itu juga ikan dalam pelukan tadi saya lemparkan sambil mengeluarkan teriakan. Sebuah umpatan.
Ikan menggeliat-geliat ingin menyelamatkan diri. Saya kebingungan sambil mencari-cari kayu besar. Ingin memukul ikan hingga mati. Itu saja yang ada di kepala saat itu.
Bagaimana tidak terkejut. Dari dalam mulut ikan keluar potongan-potongan berwarna hitam legam. Persis warna ular yang pernah berhadapan dengan saya beberapa tahun lalu.
Dan benar! Potongan-potongan itu adalah potongan badan ular. Sepotong demi sepotong ke luar dari mulut ikan yang saya coba buka tadi. Sungguh mengerikan sekali.
Ingin dibuang, dibiarkan ikan gabusnya masuk ke air sayang. Setelah  setengah harian ditunggu, mosok sih dibiarkan lepas.
Begitu dapat kayu besar, seperti orang kesetanan saya pukuli ikan itu hingga benar-benar mati. Sambil memukuli sambil saja ketakutan kalau-kalau ada potongan badan ular tersebut terkena badan.
Sebenarnya tak mengapa. Ularnya juga sudah mati. Tapi, trauma takut masa lalu memenuhi perasaan lagi.
Setelah ikan gabus benar-benar mati, dengan ranting dan kayu yang saya temukan mulut ikan saya buka. Sesekali saya siramkan air ke mulutnya agar semua ular yang ada di perutnya keluar.