Banyak yang bilang main politik persis main catur. Â Sampai-sampai ada istilah percaturan politik. Bahasa indonesia memang unik. Di luar negeri ada nggak ya, sebutan percaturan politik?
Iseng nih saya minta mbah google menterjemahkan ke dalam bahasa inggris. Jawabnya bagus, "Tim kami telah diberitahu bahwa terjemahan untuk 'percaturan politik" tidak dapat ditemukan." Keren tho?
Saya sih tidak ahli masalah politik. Ada yang ahli tuh, tiap hari bahasnya politik melulu. Banyak sih viwernya, lumayan buat jajan. Tapi sudahlah, rejeki orang kan beda-beda. Gak boleh syirik jua. Biarlah kita dengan bidang kita sendiri. Jika rejeki kita gak akan dimakan burung kok.
Kalau soal main catur beneran, olahraga catur (maksudnya) walau tidak mendapat gelar master nasional atau master internasional, tapi saya yakin bila lagi serius bisa saja menang bertanding. Kalau cuma tingkat kabupaten sih kayaknya tak keder. Pernah menang juga soalnya. Tapi itu dahulu.
Oh iya, katanya semakin senior kan orang itu semakin matang. Bisa jadi sekarang saya kian ahli. Sampai-sampai di kampung saya tak ada yang berani mengajak saja main catur.
Pernah suatu ketika, kebetulan ada acara hajatan perkawinan. Biasanya warga kampung ngumpul di rumah yang punya hajat. Sambil membantu-bantu pekerjaan merapikan pelaminan, meja dan kursi untuk tamu undangan esok siang. Ada yang mengisinya dengan main catur.
Saya termasuk yang paling jarang datang pada malam hari. Biasanya dari pagi hingga sore hari saja.
Entah kenapa pada waktu itu selepas isya terpikir ingin ikut begabung ngumpul-ngumpul memeriahkan acara pada malam itu. Maka saya pun berangkat.
Sesampai di tempat itu banyak lingkaran-lingkaran terdiri dari empat orang, ada yang bahkan lebih. Main domino ternyata. Telinga dijepit hingga lengan dan leher.
Di bagian lain ada juga yang bermain catur. Kalau tidak salah ada lima papan carut sedang dimainkan. Warga menang banyak malam itu. Kejadian ini tentu saja jauh sebelum ada corona.
Kalau soal domino sih saya jangan ditanya. Sejak kelas 5 SD, hingga kuliah saya makan tidurnya di meja domino. Orang-orang pada tahu semua itu.
Baca artikel Humor lainnya Kalau Saya Jadi Elang ....
Begitu melihat saja datang, satu kelompok meminta saya menggantikan salah satu rekan mereka. Maksudnya buat penghormatan mungkin.
Tapi begitu akan saya gantikan. Tiga orang lainnya protes. Mereka keberatan jika saya ada di tengah-tengah mereka.
"Kalau Sidin (panggilan untuk orang yang lebih tua) yang main jelas kami kalah. Mending menyerahkan kuping saja buat dijewer. Tak usah dijepit pake jepitan jemuran gini," katanya.
Saya senyum-senyum saja. Dan tak jadi duduk di lingkaran itu. Buat apa juga? Toh jadi penonton tak seru sama sekali. Hanya sorak-sorak, mana enaknya. Coba jadi pemain, kan bisa menggojlok seenaknya. Seru abis pokoknya.
Sedari tadi sebenarnya saya itu mendengar teriakan dan sorakan dari lapak lainnya tak jauh dari tempat saya. Pemain catur yang lagi ngejek-ngejek lawan mainnya. Rupa-rupanya lagi menang. Jadi pastilah yang kalah jadi bulan-bulanan.
Maka saya pun mendekat. Mereka semua menyapa dan membuat larangan khusus buat saya.
"Pak Dhe! Jangan kasih komentar ya. Ntar saya kalah. Mampus kuping saya kena jepitan nanti," katanya.
Saya hanya mesam-mesem saja. Tak tega memberikan komentar dan arahan agar salah seorang pemain bisa menang.
Lagi-lagi jadi penonton memang tak enak. Yang paling enak itu jadi penonton bola memang. Bisa teriak seenak perutnya. Menyalah-nyalahkan suka-suka.
Berpindah dari satu lapak ke lapak lainnya tetap saja ditolak memberikan komentar dan arahan. Saya diminta untuk nonton main domino saja. Kan lucu!
Di tempat domino tak boleh main. Di tempat catur dilarang mendekat. Kemana lagi coba?!
Karena mangkel akhirnya mau tidak mau, empat papan carut saya ambil. Semuanya saya suruh main dengan saya. Jadi saya menghadapi empat meja, sementara mereka yang bisa main catur saya persilakan berkelompok untuk melawan saya. Deal!
Permainan pun di mulai. Pendek cerita, saya berpindah dari satu meja ke meja catur lainnya. Tanpa butuh waktu lama, satu persatu permainan terkalahkan. Setelah semua kalah, saya minta permainan dilanjutkan ke babak berikutnya. Semuanya keok. Dan papan catur pun ditutup. Tak seorang pun mau main lagi.
Kan, akhirnya saya merasa bersalah, coba tidak ada saya pasti semalam suntuk permainan catur bisa mereka mainkan. Dan keseruan pasti mereka nikmati.
Setelah satu persatu dari mereka berpindah mengerubungi pemain domino, maka saya buat pengumuman, "Silakan main catur seperti sebelum saya datang tadi. Tenang saja, saya tak akan ganggu."
Tampak berseri wajah mereka, bisa main catur lagi dengan lawannya masing-masing. Saya pun akhirnya duduk di atas kursi sambil nonton tv. Ya gimana lagi coba? Main domino nggak boleh, main catur gak boleh. Tamatlah riwayat saya!!
Sambil nonton tv saya mikir, apakah seperti ini ya politik di negeri ini? Harusnya yang hebat bisa menang jika boleh bermain. Sayangnya peraturan tak mengizinkan. Akhirnya tetap jadi penonton seperti saya. Kalau jadi penonton kapan bisa menangnya.
Biar pun saya hebat dan terhebat di kampung ini, kalau gak boleh main, sama aja boong dong. Hiks hiks hiks....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H