Mohon tunggu...
Bledhek
Bledhek Mohon Tunggu... Operator - ____________

Pengkhayal LEPAS

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Misteri Pemancing Ular Puraca (Python Pandemik Kalimantan)

19 Januari 2021   14:23 Diperbarui: 19 Januari 2021   15:22 4681
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masyarakat Kalimantan sebagian besar tak asing mendengar nama puraca. Ular yang tidak berbisa dan hidup di dalam air.

Kebiasaannya yang memakan ikan tambak membuat geram para petambak ikan di wilayah ini. Tak sedikit kolam ikan berkurang lebih dari separo isinya saat panen. Bahkan ada yang menyisakan sangat sedikit ikan.

Cerita seorang teman petambak ikan lele, katanya ikan yang ditebar hampir lima ribu. Tapi pada saat panen tidak sampai dua ribu.

Saya berpikir mungkin karena petambak malas memberi makan sehingga ikan lele yang termasuk jenis predator ini memakan sesamanya. Memang biasanya begitu. Jika lapar, maka ikan lele akan mengejar dan memangsa lele lainnya yang ukurannya lebih kecil.

Tidak sekaligus mati memang. Dimulai dari ekornya yang buntung dan siripnya. Setelah ikan lemas tak kuasa berlari menghindar, bagian tubuhnya sedikit demi sedikit dimakan oleh kawanan lainnya. Kadang tak ketahuan petambak, karena hanya tersisa tulang saja. Jadi bangkai ikan tidak mengapung.

Demikian juga salah teman lain pernah bercerita kalau tambak patinnya juga pada saat panen tidak lebih dari separo sisanya. Saya juga berpikiran sama. Yang besar memakan yang kecil.

Namun ketika ada teman lain yang bercerita kalau tambak nilanya dan gurami juga mengalami nasib serupa. Panen nila dan gurami hanya tersisa sedikit. Setahu saya, nila san gurami tidak memakan sesamanya. Barulah saya kepikiran, mungkin ada ular puraca (python kalimantan).

Maka saya pun menyarankan agar membuat pancing untuk memancing ular tersebut. Umpan yang digunakan supaya lebih cepat dimakan ular puraca adalah usus ayam atau itik. Jika ada sebenarnya lebih bagus jika menggunakan daging tupai segar. Baunya yang khas akan sangat mengundang lapar ular puraca.

Beberapa teman yang saya berikan saran itu mengikuti. Mereka dengan segala kemauannya agar ular puraca yang ada di dalam tambaknya bisa diambil dan dibuang.

Setelah beberapa hari, masing-masing orang kembali mendatangi saya di waktu dan tempat berbeda.

Petambak lele mencoba menggunakan umpan daging ayam. Katanya jika diberikan umpan usus ayam, maka sebelum.umpan dimakan ular puraca sudah keduluan dimakan ikan lele yang berada di luar "dari" (sejenis jaring dari nelon besar).

Sehari semalan umpan yang sudah diberi kail di dalamnya tak bergerak sama sekali. Baru pada hari kedua rasa penasarannya memuncak. Kail dengan tersebut ditarik.

Dan ternyata senar yang digunakan putus, saking berat tarikannya. Mungkin nyangkut, saya tak berani bercebur mengangkat pengaitnya. Mungkin juga ada kayu atau ranting kuat tempat nyangkutnya kail.

Orang kedua juga bercerita kalau kailnya nyangkut, ditarik kuat-kuat dan putus. Sementara orang ketiga petambak nila dan gurami tak ada kabar beritanya.

Saya kemudian menyarankan agar senar yang digunakan adalah senar dengan kualitas tinggi. Minimal senar untuk raket bulutangkis. Memang sih, jika senar yang digunakan adalah senar besar biasanya ular puraca tak mau makan umpan.

Mereka berdua kemudian membeli senar untuk raket bulutangkis. Mahal memang. Satu gulung saja seharga Rp 65.000. Sementara untuk memancing tersebut dibutuhkan setidaknya 6 hingga 7 gulung. Apa boleh buat katanya, daripada rugi terus tak salahnya tambah modal buat beli senar.

Setelah itu karena mereka tak ada kabar beritanya lagi, saya pun sudah melupakannya. Mungkin usahanya menangkap ular puraca yang selama ini jadi pemangsa tambak mereka telah bisa diatasi.

Berselang setengah bulan lebih kira-kira, saya dibangunkan ibunya anak-anak tengah malam buta. Saya pikir ada apa?

Saat bangun tidur memang napas saya tersengal. Keringat dingin mengucur begitu deras. Saya tak tahu apa yang terjadi.

Dengan setengah ketakutan isteri saya bercerita. Katanya saya dengan mengigau dalam tidur. Berteriak-teriak minta tolong. Mengatakan ampun-ampun, sambil melepaskan selimut yang menutupi badan. Berguling-guling. Kata-kata dalam teriakan saya adalah lepaskan aku puraca! Lepaskan! Dan terus minta tolong, sambil diselingi kata lepaskan.

Maka remang-remang saya ingat-ingat keesokan paginya. Tadi malam saya sedang bermimpi apa. Tak ada sekelebat pun mimpi yang saya ingat. Tentang ular puraca apa lagi.

Mengingat kembali apa yang diucapkan isteri saya tentang teriakan saya menyebut nama puraca, saya pun teringat pada tiga petambak yang datang tempo hari.

Berarti ular puraca yang mereka pancing telah berhasil didapat dan selanjutnya mereka bunuh. Saya yang ketiban apes ditadangin arwah ular puraca tersebut. Tapi kok ya mungkin? Mustahil ada arwah ular puraca balas dendam. Dengan arwah gentayangan saja saya tak percaya.

Yang saya heran, mengapa juga tiga orang teman saya tadi tak datang lagi ke rumah dan memberikan kabar keberhasilan mereka.

Tapi saya maklum kok. Manusia memang sebagiannya begitu. Saat mendapat masalah dan kesulitan datang meminta pertolongan dengan mengiba-iba. Setelah bebas dan terlepas dar kesulitan, apalagi yang paling nikmat kalau tidak melupakannya. Ha ha ha .... Aneh memang!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun