Mohon tunggu...
Bledhek
Bledhek Mohon Tunggu... Operator - ____________

Pengkhayal LEPAS

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kalau Saya Sudah Klimaks, Kamu Mau Apa?

1 Januari 2021   23:28 Diperbarui: 1 Januari 2021   23:30 325
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
IMDb Klimaks (1965) - IMDb


Awas! Pikirannya jangan ngeres dulu. Awas jangan ngeras juga!

Ini sebenarnya tentang apa?

Baiklah kita mulai saja sebelum pembaca berpikiran macam-macam. Apalagi sampai parno. Jangan sampai kali!

Perjalanan menanjak suatu saat pasti akan sampai pada sebuah puncak. Ambil contoh kekuasaan. Puncak tertinggi kekuasaan dalam sebuah negara adalah Kepala Negara, presiden tentunya. Maka sangat mengherankan ketika ada mantan presiden yang kemudian berharap jadi gubernur atau jabatan di bawahnya.

Kalau misalnya ada menteri yang kemudian ingin jadi gubernur apakah termasuk lumrah. Karena menteri bukan jabatan kekuasaan, jadi tidak ada sangkut pautnya.

Demikian di pendidikan. Dimulai dari Paud, TK, SD, SMP, hingga perguruan tinggi doktor misalnya adalah puncak tertinggi dari sebuah jenjang pendidikan. Maka sangat lucu sang doktor masuk kuliah lagi dalam jurusan yang sama dengan program doktoral yang telah didapatkannya.

Beda kasusnya dengan istilah menuntut ilmu. Tak terbatas dengan jenjang pendidikan. Menuntut ilmu berlaku sepanjang usia, dari buaian hingga ke liang lahat. Artinya apa pun gelar yang telah diraih. Menuntut ilmu tetap dilakukan.

Menekuni sebuah pekerjaan juga merupakan jalan menanjak. Jenjang karir satu persatu seperti tangga dinaiki. Mulai dari jabatan terendah hingga ke jabatan tertinggi. Setelah sampai pada puncak tangga karir tersebut apa yang akan dilakukan. Jika masa pansiun tiba gampang, tinggal pansiun saja.

Kalau kemudian usia pansiun masih lama sementara puncak jenjang karir telah sampai dipuncaknya mungkinkah akan dipertahankan selamanya. Padahal batas waktu dari jabatan pada karir tersebut sudah ditentukan. Hingga akhirnya harus digantikan oleh yang lain.

Dalam hal menumpuk harta kekayaan, adalah batas klimaksnya?

Sepertinya untuk urusan yang satu ini tak memiliki batas. Mungkin itulah salah satu penyebab korupsi di mana pun di dunia ini sulit diberantas. Seperti meminum air laut. Semakin banyak.yang diminum maka akan semakin haus.

Siapakah orang yang layak dikasihani?

Pertama, orang kaya yang tiba-tiba jatuh miskin. Kebiasaan dihormati dengan kekayaan menjadikan mantan orang kaya tersebut sangat menderita. Sehingga kita layak mengasihani mereka.


Terbiasa hidup mewah dan serba ada, kemudian tiba-tiba harus hidup sederhana atau hidup dalam kekurangan. Penderitaannya berlipat-lipat.

Kedua, pejabat yang hilang jabatannya. Sebagian besar pejabat yang sudah lengser dari jabatannya meninggalkan duka mendalam. Dahulunya ketika jadi pejabat main perintah. Kira-kira bagaimana rasanya jika perintahnya tak bermakna lagi? Bahkan kata-katanya tak seorang pun mendengarkan.

Kesedihan yang bertubi-tubi inilah yang mengharuskan kita mengasihani mereka.

Ketiga, orang sehat yang kemudian jatuh sakit. Bagaimana saranya sakit. Terbaring lemah, tak berdaya. Hampir semua yang dibutuhkan harus meminta bantuan dengan orang lain.

Dahulunya dengan leluasa mampu melakukan apa saja yang diinginkan. Karena sakit mau tidak mau harus tergantung secara penuh pada orang lain. Mereka juga sangat menderita. Sudah selayaknya juga mereka kita kasihani.

Keempat, pejabat yang hilang jabatannya, harta kekayaannya ludes, dan jatuh sakit. Ibarat sudah tajuh tertimpa tangga, kesetrum listrik karena air cucian tetangga dari lantai di atas kamarnya jatuh ke terasnya.

Penderitaan yang begitu lengkap. Adakah orang yang mengalami penderitaan seperti ini? Ternyata ada. Siapa mereka? Para koruptor yang ketahuan tertangkap tangan dan divonis bersalah, harta disita, jabatan diambil, dan terkurung lemas dalam penjara. Sesudah itu, istrinya selingkuh pula. Bagaimana rasanya?

Kalau membayangkan akan seperti ini kesudahan hidup mereka, pasti tak akan ada satu pun koruptor mau melakulan korupsi. Sayangnya tak ada yang sempat bermimpi kejadian itu akan menimpanya.

Mimpinya hanya berisi tentang nikmatnya hidup mewah, punya bangunan megah, kendaraan, simpananan di mana-mana dalam jumlah yang hampir tak terhitung.

Cerita di atas, apa kaitannya dengan judul artikel ini? Pertanyaannya adakah orang yang sudah sangat bahagia dengan apa yang dimilikinya? Meskipun menduduki jabatan terendah dalam pekerjaannya, hidup serba kecukupan, serta dianugerahi kesehatan.

Mereka inilah orang yang selalu klimaks dalam semua lini. Hampir tak pernah menatap ke atas dari segi duniawi. Menikmati apa yang sudah ada dalam genggamannya.

Kalau sekarang kita bandingkan bagaimana letih dan capeknya mengejar jabatan. harta dan kesehatan tersebut. Tentu saja sangat menguras energi. Dan hari-hari seluruh beban pikirannya dipenuhi oleh apa yang menjadi keinginannya yang belum terpenuhi.

Bolehkah kita mengejar mimpi untuk menduduki jabatan tertinggi, harta kekayaan melimpah, dan kesehatan yang baik? Jawabnya pasti boleh-boleh saja. Bahkan sangat dianjurkan.

Yang tidak boleh itu adalah sebegitu kerasnya usaha yang diitempuh hingga menghalalkan berbagai cara. Apa pun dilakukan. Tak peduli merugikan orang lain apa tidak. Menyakiti orang lain apa tidak. Keserakahan itulah yang menjadikan derita yang tiada habisnya.

Orang yang cukup dengan apa yang ada, apa yang telah diraih menjadikan hidupnya tenang. Setiap saat selalu mencapai klmaks.

Kira-kira ada tidak, kalau pas klimaks itu tidak nikmat? Entahlah.... Ha ha ha

Jadi, dari pada banyak derita dari lama hidup yang tak seberapa ini lebih baik klimaks dan klimaks adalah bahagia.

Kalau saya sudah klimaks, kamu mau apa? Apakah mau klimaks juga atau menyimpannya di laci meja. Sehingga derita satu bertambah ke derita lainnya. Hingga klimaks hanyalah angan dan mimpi saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun