Kalender yang Somplak, Wedang Uwuh, dan Aku
Lembaran kalender kujadikan masker. Mata tertutup belahan tomat. Bibir kujahit rapat agar telinga tak mendengar apa-apa. Ketika wedang uwuh mengalir tenang dalam rongga leher hingga dada.
Cukuplah aku mematung untuk beberapa saat. Menanti pori-pori wajah merapat. Kerutan kulit mulai menua minta diistirahatkan sebentar saja. Minimal ketika lonceng gereja berdentang, ketika sirine pergantian tahun berkumandang.
Ingatanku kenyang meminum wedang uwuh dalam lembaran kalender yang somplak. Dimana tanggal merah menjadi berkah. Deretan angka berwarna hitam jadi tempat penyiksaan. Lalu libur panjang yang tak lagi memberi kenikmatan.
Orang pandir meneriakan isi perut mereka, menampilkan apa yang di atas perut, apa yang di bawah perut. Pemandangan terindah bagi pengelana yang haus dan lapar. Menjadikan hamparan taman kota gurun sahara. Gersang dan mengancam.
Kemudian satu persatu nama disebutkan. Ditulis besar dan panjang. Berkali-kali hingga aku menghapalnya tanpa mengeja hurup demi hurup lagi.
Seperti inilah hari demi hari. Kalender somplak dirobek selembar selembar. Wedang uwuh terasa hambar, namun tetap dinikmati tanpa tawar menawar.
"Tanggal berapa sekarang?" tanyaku.
"Tanggal tiga puluh satu."
"Hari apa ini?"
"Hari kamis," jawabmu.
Oh, adakah yang istimewa?
Tidak!
Tidak ada yang istimewa
Hanya ada wedang uwuh yang tumpah ruah
Dan kalender somplak yang jadi bahan tawa
Maukah kita jadi korbannya? Serempak jawabnya, Tidak!
TB, 31 Desember 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H