Mohon tunggu...
Bledhek
Bledhek Mohon Tunggu... Operator - ____________

Pengkhayal LEPAS

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sinden Kedanan

30 Desember 2020   23:17 Diperbarui: 31 Desember 2020   00:25 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
blog sejarah tulungagung - blogger BLOG SEJARAH TULUNGAGUNG:

Nang ning nang gong, Pak Bayan. Sego jagung ra doyan...

Seperti mengalir dalam darah, meluas rongga pernapasan, lega bercampur gembira. Lengang genggok tarian. Gemulai dalam tebar senyum menawan. Bokong besar ganjelan busa. Begitulah kira-kira yang kini menutupi wajahku. Ingatan penuh berisi peristiwa kala itu.

Mantenan! Malam resepsi. Jauh sebelum ada berita tentang korona. Bahkan terbayang pun belum.

Selepas isya acara dimulai. Pertunjukan langsung, bukan musik elektrik tanpa penghuni atau tanpa artis mengelilingi. Siapa mereka? Sinden Edan. Begitulah orang-orang menyebutnya. Pembawa acara memperkenalkan namanya. Sinden Edan.

Nama aslinya sumirah, wajah cantik, suara melengking merdu, mendayu-dayu bila sudah tampil menari dan nyinden. Itu cerita masa lalu. Kini usianya tak muda lagi. Sebagian rambutnya telah memutih. Ia enggan melepaskan diri sebagai sinden edan. Baginya nyinden adalah hidupnya. Cita-citanya ingin mati saat nyinden.

Di bawah tenda terpal beralaskan tanah. Pengunjuk duduk bersila, ngesot di atas tanah. Hanya manten yang duduk di kursi layaknya raja dan ratu.

Gamelan tak henti-hentinya berbunyi. Mulai dari irama syahdu mendayu-dayu hingga hingar bingar tak menentu. Diselingi sorak pengunjung dan celoteh nakal mereka.

"Kancing bajunya dibuka, Nden!"

"Jarit diangkat sedikit!"

"Nanti saweran munggah lo!"

Nenek, wong cuma disuruh begitu-begituan. Yang menyuruh sepantaran dengan cucunya. Apa susahnya.

Apa pun yang diminta dari pengunjung dilakukan. Semakin melenggang, semakin melenggok, semakin dahsyat, semakin aduhai. Mbok-mbok yang nonton malah sememg setengah mati. Cekakak cekikik girang, sambil melemparkan uang kertas ke tengah arena.

Mikrofon tanpa kabel melekat di sela kutangnya. Tak khawatir suara merdunya tenggelam dalam keriuhan. Tak khawatir akan jatuh terinjak tariannya.

Malam kian larut. Pengunjung berjejal mulai carut marut. Pasangan pengantin telah meninggalkan tempat. Tandanya acara bebas sudah berjalan. Anak-anak di bawah umur menyingkirkan diri. Malu pada sekitarannya yang rata-rata adalah ibu bapak mereka.

Pukul 12 tengah malam, mikrofon wajib dimatikan. Begitulah wanti-wanti pak Kades. Namun acara tetap berlangsung. Pengunjung merapat. Berdesak! Sinden Edan masih asyik kedanan. Siapa pun yang berdiri menghampirinya selalu dilayani. Menari mengelilingi.

Keringat mengucur. Mengkilat keningnya. Basah baju kebaya hingga sebagian jaritnya.

Saat "sluku-sluku bathok" dalam iringan gamelan. Sinden Edan tak lagi bersuara. Hanya gensang, bonang dan saron yang berbunyi.

"Sluku-sluku bathok. Bathoke ela-elo. Si Romo menyang Solo.. Oleh-olehe payung mutho. Mak jenthit lolo lobah.. Wong mati ora obah
Yen obah medeni bocah.. Yen urip goleka dhuwit."

Tiba-tiba Sinden Edan mematung. Berdiri seolah ingin berpidato. Orang-orang pun mafhum, acara akan segera berakhir.

Maka bersuara lantanglah Sinden Edan, "Kita sudah berada diujung acara. Jangan lupa. Esok pagi mungkin ada. Mungkin juga tiada. Aku dan kita semua bisa saja tiba-tiba tidak ada. Manten telah memulai hidup baru. Pasti akan ada hidup kita yang digantikanya."

Hadirin menyimak dengan seksama. Jika ada angka yang sinden sebutkan, berarti rejeki nomplok bagi hadirin. Kode buntut. Sudah teruji ampuhnya. Dan kali ini tidak ada angka sama sekali.

"Waduh rugi aku melu lek-lek an. Batal sugih koyok e. (Waduh rugi saya. Batal jadi orang kaya.) Sak janne sing tak enteni ket mau yo nomor kui. (Padahal yang aku nanti sejak tadi adalah angka itu)." Bisik orang-orang pada teman di sampingnya dalam gaya bahasa yang berbeda.

Malam kian sendiri. Pengunjung meleraikan diri.  Manten masih sibuk menjajal diri. Mempas-paskan pakaian. Sepertinya tak akan ada lelap untuk malam ini. Setelah ning nang ning gong berakhir. Hanya ada ning nang ning nang mereka berdua. Dalam cerita rahasia.

Kata mereka. jika sluku-bathok sudah dinyanyikan. Arwah Sunan Kalijaga akan hadir di tempat itu. Dan ucapan Sinden Edan adalah ucapan Kanjeng Sunan. Itulah yang mereka percayai.

Wallahu a'laam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun