Mohon tunggu...
Arif Nurul Imam
Arif Nurul Imam Mohon Tunggu... Peneliti -

Aktivis sosial dan Pemerhati Politik

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Fenomena Ndeso

10 November 2014   18:17 Diperbarui: 17 Juni 2015   18:10 6
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perbukitan Menoreh adalah asal kampung halamanku, lebih tepatnya di Dusun Munggang Wetan, Desa Sidoharjo, Kecamatan Samigaluh, Kabupaten Kulonprogo, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Sebagaimana nasib desa lainnya, kampungku tak jauh beda dengan potret wajah desa lainnya di negeri ini. Kampung yang jauh dari keramaian dan gemerlapnya kehidupan modern merupakan ciri yang melekat sebagaimana desa-desa di seantero Nusantara.  Ndeso. Lahir dan besar di kampung yang ‘ndeso’, tentu saja mengajarkan banyak pelajaran hidup, sekaligus menjadi sumber inspirasi yang nyaris tiada habis. Meski demikian, tidak sedikit orang kurang percaya diri bila menyebut dirinya berasal dari kampung, apalagi pelosok. Mereka merasa inferior karena akan dianggap kuper, bodoh, dan terbelakang. Meski demikian, perkembangan selanjutnya istilah ndeso menjadi populer dan ‘naik kelas’ sejalan bergesernya pasar politik di Indonesia. Hal ini lantaran sosok politisi fenomenal Jokowi yang akhirnya menjadi presiden mampu menampilkan citra diri berlatar-belakang dan berkarakter ndeso. Ia hadir sebagai antitesis politisi selama ini. Tampilan dan karakternya persis masyarakat ndeso yang lugu, merakyat, dan sederhana. Fenomena ini, tak berlebihan jika kemudian mendorong para tokoh-tokoh untuk mencitrakan diri dan berusaha menampilkan karakter diri yang lekat dengan ndeso. Ndeso, pada gilirannya, menjadi marketable dan familier dikalangan publik. Sebagai orang ndeso, tentu saya ikut senang atas fenomena politik dewasa ini. Sebab, fenomena tersebut secara psikologis mampu meng-injeksi semangat dan kepercayaan orang-orang ndeso. Bahwa orang ndeso bisa berprestasi dan tak kalah bersaing dengan orang kota, atau yang merasa sok jadi orang kota. Dalam desain pembangunan kita, memang ndeso masih saja menjadi anak tiri pembangunan, setidaknya jika melihat postur angggaran yang digelontorkan untuk membangun desa. Padahal warga Indonesia mayoritas tinggal di perdesaan. Hadirnya undang-undang desa, setidaknya menjadi penawar dahaga dan sekaligus potensial sebagai daya ungkit bagi kemajuan desa. Apalagi jika di sertai dengan mekanisme dan instrumen yang akurat serta memadai. Saya berharap, akan ada terobosan dan kebijakan progresif lainnya dari para pemangku kepentingan agar kesenjangan pembangunan bisa di nihilkan.

Untuk para elit politik yang sekarang gemar memakai label ndeso, berpihaklah pada desa, jangan cuma kau gunakan sebagai brand politik semata. Rakyat ndeso menunggu kebijakan yang berpihak pada ndeso. Membangun Desa Membangun Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun