Mohon tunggu...
Arif Nur Kholis
Arif Nur Kholis Mohon Tunggu... -

Seorang multi minat yang sebenarnya bingung minat aslinya apa. Tinggal di Yogyakarta, asal Kendal -Jawa Tengah. Tukang nonton Film, baca Novel, dan sempat jadi relawan ketika terjadi Gempa Bumi Yogyakarta,Tasikmalaya dan Sumatera Barat. Senang Traveling, aktif di Pusat Studi Falak di sebuah perguruan tinggi, sedang belajar memotret dan lagi coba mengembangkan tulis-menulis. Sekarang sedang mengembangkan sebuah travel adventure orgaizer di Pulau Lombok bernama "Rinjani Magazine" dan jadi pendamping beberapa institusi pendidikan,kesehatan, sosial dan bisinis yang sedang mengembangkan manajemen website-nya.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Sang Pemimpi: Kenapa Harus Mimpi ke Paris...?

22 Desember 2009   19:44 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:49 1247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_42061" align="alignleft" width="209" caption="sang Pemimpi"][/caption] “Hemm……” batinku dalam hati begitu Film ini selesai. Film dari Novel kedua Andrea Hirata ini sempat membuatku tidak puas. Bukan tidak puas karena tidak sama dengan Novelnya, atau penggambaran karakter yang kurang pas atau bagaimana. Tapi tidak puas karena “pesan besar” film ini tidak semudah ditangkap seperti dalam Film pendahulunya, Laskar Pelangi. Walaupun mungkin Idealisme Riri Reza (Sutradara), Mira Lesmana (Produser) dan Andrea Hirata (Pemilik Cerita) cukup tersalurkan dalam film ini. Dalam Film – Film bersekuel seperti sekuel klasik Rambo, Rocky, Batman, Superman, Star Wars…atau model sekuel yg baru baru ini ada seperti Harry Potter, Transformer dan New Moon memang hampir mirip menurutku. Dalam film lepas tapi berseri begini (Baca : Bersekuel) kesuksesan Film pertama merupakan kesuksesan para Filmaker dalam menawarkan sesuatu yang baru kepada khalayak. Atau dalam konteks Film berbasis Novel yg booming seperti Laskar Pelangi, Hary Potter dan sejenisnya kesuksesan Film pertama adalah kesuksesan mengkomunikasikan impian publik dalam bentuk “harapan” visual. Nah… di Film kedua, model ini tidak berlaku lagi karena di film kedua biasanya keinginan publik sering terabaikan dan para pembuat Film cenderung lebih egois. Repotnya definisi keinginan Publik di Film kedua bukanlah keinginan bahwa Filmnya sama dengan Novelnya lagi karena Publik sudah bertambah tidak sekedar yang tahu Novel tapi juga yg telah menonton Film pertama. Padahal di Film pertama sudah ada revisi dari Novel...... Disinilah masalah menurutku dalam Sang Pemimpi. Film ini menurutku gagal menghadirkan apa yang disebut mimpi itu. Cerita sudah menarik, penokohannya keren, visualnya keren juga, namun “benang merah” yang disebut mimpi itu sepertinya sulit tersembul sebagai passion. Mimpi adalah sesuatu yang melampaui realitas. Hal ini tergambar dalam Novel Andrea sebagai mimpi yang harus melampaui realitas kemiskinan yang dihadapi Arai, Ikal dan Jimbron dengan perjuangan mereka. Namun dalam bahasa Film kok sepertinya masih kurang gregetnya. Oh.. tepatnya.. visualisasi Paris, Sorbone dan Keliling Dunia yang menjadi mimpi mereka hanya terwakili dalam bahasa visual Peta yang dicoret-coret yang dibawa Arai. Entah….. motivasi Pak Balian (Nugie) sudah pas… tapi kok efek psikologisnya untuk bertransformasi menjadi passion tidak terjadi….. (He..he… mungkin terlalu personal bagiku). Berbicara anatomi mimpi sebenarnya sudah cukup lengkap di Film ini. Ada pelaku (Arai, Ikal, Jimbron), ada Motivator (Pak Balian), ada Suplemen Motivator (Tradisi kata-kata motivasi para murid), ada yang apresiasi (Ibu dan Bapak Ikal), ada modal (dua kuda jimbron), ada proses (bekerja keras dari menimbang ikan hingga tukang foto kopi dan petugas pos), dan ada repetisi motivasi dengan penyebutan kata-kata Paris yang berulang-ulang. Hanya saja sepertinya bagi mereka yang tidak membaca novelnya dan tidak menonton Laskar Pelangi gambaran seberapa berharga mimpi pergi ke Paris bagi anak-anak kampung itu kurang terasa. Mungkin butuh banyak hal pendukung yang tidak perlu ditemukan dalam novel aslinya. Pertanyaan apa pentingnya kalau bisa ke Paris... Mau jadi apa setelah ke Paris.... belum sepenuhnya tergambar dalam Film ini kecuali membuat bapak dan ibu ikal menangis.... Yah… secara umum Film ini keren. Penokohan, pemilihan pemeran, dialognya hingga acting mereka yang berlakon tanpa dialog dalam Film ini sangat bagus. Orang Indonesia patut berbangga dengan Sang Pemimpi….dan juga Laskar Pelangi. Namun.. kita menantikan Edensor Film tidak akan sama dengan kita menantikan Edensor Novel dahulu (Bagi yg membaca Novelnya). Karena Edensor versi Film adalah Edensor Sekule dari Laskar Pelangi dan sang Pemimpi versi Film yang sudah ada perbedaan dari Novelnya..... Btw…apakah kita akan menantikan Edensor yang berarti menantikan perjalanan keliling dunia Luqman Sardi dan Ariel …? Serius nih....? (Masih nggak rela kalo Ariel...ha..ha....) Salam buat Ayah Nomer Satu di Dunia :)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun