Di dalam masa-masa pandemi yang seperti saat ini yang tidak pernah disangka-sangka sebelumnya, kita dan kebanyakan orang akan cenderung mengambil langkah atau perilaku yang memperbesar kemungkinan untuk survive atau setidaknya menimbulkan perasaaan aman.
Itu sudah menjadi insting kita sebagai individu di dalam bertahan hidup, dari dulu hingga sekarang. Hanya berbeda pada cara dan wujudnya saja, tapi esensinya sama.
Di dalam situasi penuh ketidakpastian, kita dituntut untuk mampu cerdas berperilaku. Dalam konteks ini bukan berarti berperilaku selayaknya orang pintar atau jenius. Cerdas berperilaku di tengah ketidakpastian berarti berperilaku tepat sesuai situasi dan kondisi.
Berperilaku berdasarkan pertimbangan-pertimbangan logis, bukan perilaku kompulsif atau spontan. Berperilaku berdasarkan tujuan dan kebutuhan agar tepat sasaran bukan hanya sekedar ikut-ikutan.
Mengapa kita perlu cerdas berperilaku?
Kita sebagai individu yang hidup di masyarakat yang memiliki sistem yang berlaku baik sistem sosial, norma, keagamaan hingga ekonomi. Setiap perilaku individu tentu terikat dalam suatu aturan main yang berlaku di dalam suatu sistem.
Apabila individu melakukan suatu perilaku yang cenderung merugikan, tentu akan berdampak pada orang lain. Bahkan berpengaruh pada sistem yang tengah berjalan. Begitupun ketika individu melakukan perilaku-perilaku yang berdampak positif.
Memilih untuk cerdas berperilaku ternyata tidak semudah seperti mengucapkannya secara lisan. Standarisasi mengenai bagaimana cerdas berperilaku itu dilakukan kerap menjadi 'jebakan' sehingga membuat sebagian orang malah cenderung enggan untuk melakukannya.
Sebagai contoh adalah ketika seorang financial planner menyarankan untuk mempunyai dana cadangan sekian kali lipat dari pendapatan rutin bulanan, yang akan sangat berguna di kala pandemi seperti saat ini.
Sepintas itu yang demikian terkesan begitu tepat dan cerdas mengambil suatu keputusan, bagi sebagian orang yang memang ada kesempatan untuk melakukan saving seperti yang disarankan.