Kini tantangan dan tekanan terhadap organisasi pekerja semakin kompleks. Selain meningkatkan profesionalisme dan kompetensi, organisasi pekerja juga memiliki misi penting yakni meningkatkan literasi bagi buruh dan keluarganya.
Tingkat Literasi adalah salah satu faktor untuk menjadikan buruh mampu menempatkan dirinya bisa setara dengan kekuasaan, baik kekuasaan kapitalis maupun pemerintahan. Menurut UNESCO, definisi Literasi adalah kemampuan individu untuk membaca, menulis, berbicara, menghitung dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian yang diperlukan dalam pekerjaan, keluarga dan masyarakat.
Dengan tingkatan literasi yang meningkat buruh bisa membuat aksi lebih efektif. Meningkatkan kompetensi lebih cepat dan bisa bernegosiasi dengan piawai.
Agenda organisasi serikat pekerja membutuhkan daya literasi yang baik. Tanpa kemampuan literasi yang bagus dari pengurus organisasi buruh, maka setiap langkah perjuangannya sulit diviralkan dengan baik. Dengan kemampuan literasi yang bagus serikat pekerja bisa mengimbangi kebijakan pemerintah yang berpotensi merugikan kaum buruh.
Dengan daya literasi yang bagus, buruh bisa membedah secara komprehensif kondisi perusahaan dan masalah kebangsaan yang terkait ketenagakerjaan.
Meningkatnya tingkat literasi otomatis menambah kemampuan bernegosiasi. Beberapa tahun kedepan sektor ketenagakerjaan masih menyimpan konflik yang substansial terkait dengan pengupahan dan hubungan industrial. Dalam kaidah manajemen modern, pekerja pada prinsipnya juga berperan sebagai stakeholders. Oleh sebab itu serikat pekerja sangat berkepentingan terhadap kelangsungan hidup perusahaan. Serikat pekerja sebaiknya memiliki kemampuan untuk mengkaji dan menganalisa kinerja perusahaan secara obyektif.
Selama ini forum perundingan ketenagakerjaan belum diikuti oleh para perunding yang efektif. Akibatnya proses perundingan secara dini sudah mengalami kebuntuan. Atau hasil perundingan yang diperoleh tidak memuaskan karena dalam status win-lose atau lose-lose. Begitu pula teknik bernegosiasi juga sering kurang memadai. Padahal dalam situasi penting seperti itu kuncinya terletak kepada kepiawaian bernegosiasi.
Ada baiknya kita merujuk teori pakar manajemen Leight L. Thompson dalam bukunya "The Mind and Heart of the Negotiator", bahwa penyebab seseorang menjadi perunding yang buruk karena faktor motivasi dan kemampuan literasi dari si perunding. Menurutnya, akar masalahnya terjadi pada tiga hal yang mendasar yaitu; faulty feedback, satisfaction, dan self reinforcing incompetence. Dalam berbagai kasus sengketa ketenagakerjaan, tidak jarang para perunding justru melakukan faulty feedback atau umpan balik yang salah.
Perundingan ketenagakerjaan sering diwarnai oleh satisficing atau terpaksa menerima hasil perundingan yang bernilai rendah. Dalam proses perundingan, pemerintah dan perusahaan perlu memberikan bahan-bahan yang lengkap terkait dengan kondisi terkini. Hal itu untuk mencegah fenomena self reinforcing incompetence. Karena fenomena tersebut menyebabkan ketidakefektifan dalam melakukan perundingan.
Sebelum perundingan dimulai atau memasuki substansi pembahasan isi perundingan secara detail, masing-masing pihak sebaiknya melakukan klarifikasi atau menjelaskan mengenai tuntutan yang mereka inginkan.
Setelah tuntutan awal diungkapkan, masing-masing pihak sebaiknya menentukan hal-hal yang mereka inginkan dan hal-hal yang dapat mereka berikan sebagai konsesi. Pada tahap ini masing-masing pihak perlu melakukan perundingan dalam wilayah ZOPA (zone of possible agreement) yang tersedia. Disini masing-masing pihak mempunyai batas toleransi atau reservation price untuk dapat mencapai kesepakatan atau untuk meninggalkan proses perundingan atau terjadi jalan buntu.