Kondisi buruh migran sangat rentan dijerumuskan sebagai pelaku tindak kejahatan. Ironisnya pemerintah belum menemukan jalan untuk mengatasi masalah itu. Kita tidak boleh menutup mata bahwa semakin banyak pekerja migran yang terjerat kasus hukum.
Menurut catatan Direktur Perlindungan WNI dan buruh migran Indonesia Kementerian Luar Negeri dalam tempo enam bulan saja terjadi sekitar 29 ribu kasus yang menjerat TKI di luar negeri. Bahkan hingga 2018 tercatat sebanyak 229 buruh migran asal Indonesia terancam hukuman mati karena berbagai kasus hukum.
Selama ini pihak Kemlu mengakui banyak kesulitan dalam menangani kasus yang melibatkan buruh migran seperti kasus pembunuhan, perzinahan, pelacuran, pencurian, pengedaran narkoba dan lain-lain.
Beberapa kendala tersebut diantaranya adalah terbatasnya SDM perwakilan RI, peraturan setempat yang mempersulit akses perwakilan asing dalam penanganan kasus, dan kasus hukum yang menjerat buruh migran dikategorikan sebagai permasalahan domestik, sehingga pemerintah tak bisa menanganinya secara langsung.
Penelitian sosial menunjukkan ternyata secara de facto sebagian buruh migran dalam kondisi tersandera oleh sindikat bahkan tidak memiliki kekuasaan untuk menentukan langkah dan penggunaan uang yang menjadi haknya. Bahkan para sindikat yang menjadi penentu atas pilihan jenis pekerjaan dan cara memanfaatkan upah.
Untuk meningkatkan daya saing dan mengurangi jumlah buruh migran yang terjerat kasus perlu program meningkatkan literasi bagi buruh dan keluarganya. Tak bisa dimungkiri indeks literasi buruh kini masih terpuruk. Tingkat Literasi adalah salah satu faktor untuk menjadikan buruh mampu membela dan menempatkan dirinya setara dengan majikan. Menurut UNESCO, definisi Literasi adalah kemampuan individu untuk membaca, menulis, berbicara, menghitung dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian yang diperlukan dalam pekerjaan, keluarga dan masyarakat.
Dengan tingkatan literasi yang bertambah buruh bisa meningkatkan kompetensi lebih cepat dan bisa berunding dengan baik. Keterpurukan literasi buruh saat ini bertemali dengan rendahnya indeks literasi nasional.
Saatnya mawas diri dan mencari solusi terkait dengan banyaknya kasus buruh migran yang terancam hukuman mati dan tersangkut kasus lainnya. Persoalan hukum, utamanya kasus hukuman mati terhadap TKI di luar negeri sebaiknya segera diatasi secara sistemik. Sebenarnya akar persoalan diatas adalah perekrutan TKI di tanah air yang masih amburadul. Serta masalah kualitas TKI yang minim kompetensi dan rendahnya tingkat pendidikan.
Kasus hukuman mati buruh migran merupakan paradoks. Pasalnya Bangsa Indonesia selama ini menjadi pemetik rezeki globalisasi yang bernama remitansi. Aliran remitansi dalam jumlah besar merupakan keringat buruh migran yang dinikmati oleh segenap bangsa.
Saatnya mendayagunakan remitansi serta menyelenggarakan program capacity building atau pengembangan kapasitas buruh migran beserta keluarganya di kampung halaman lewat pelatihan wirausaha. Program capacity building atau pengembangan kapasitas bertujuan memberikan keterampilan praktis untuk berusaha.
Bank Indonesia mendorong pengembangan Program Desa Migran Produktif (Desmigratif) yang dicanangkan oleh Kementerian Ketenagakerjaan. Program Desmigratif sangat strategis mengingat besarnya kontribusi penghasilan TKI terhadap devisa Indonesia.