Catatan Arif Minardi
Krisis yang terjadi di perusahaan otomotif terbesar Jerman, Volkswagen (VW) berdampak pahit terhadap pekerja dan menimbulkan sengketa sengit dan rumit. Pelajaran krisis VW harus menjadi perhatian serius bagi industri otomotif di Indonesia. Pentingnya membenahi hubungan industrial yang konstruktif dan sesuai dengan perkembangan zaman.
Pengumuman pihak manajemen Volkswagen (VW) pada Senin (2/9/2024) menyentak dunia. VW menyatakan mereka terpaksa menutup pabrik di Jerman, sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam 87 tahun sejarah VW.
Lebih lanjut pihak manajemen VW juga mengumumkan, terpaksa mengakhiri program jaminan tempat kerja yang dijalankan sejak tahun 1994. Sebagai catatan, produsen otomotif terbesar Eropa itu saat ini memiliki sekitar 680.000 karyawan di seluruh dunia.
Menurut manajemen kondisi sulit mengharuskan 10 merek mobil dalam Grup VW harus direstrukturisasi secara komprehensif, dan lock out atau penutupan pabrik tidak bisa lagi dikecualikan.
Sejak beberapa tahun terakhir, VW dilanda krisis karena salah urus dan perubahan di pasar mobil global. Tahun lalu, VW meluncurkan program penghematan biaya, yang bertujuan untuk menghemat 10 miliar DM sampai tahun 2026. Namun menurut harian ekonomi Jerman Handelsblatt, VW masih harus menghemat 4 miliar DM lagi untuk bisa bertahan.
Serikat pekerja VW mengecam keras keengganan manajemen untuk memberikan klarifikasi, pabrik mana dan siapa saja yang mungkin terkena dampak langkah penghematan ini, dan bagaimana kelanjutannya. Hal ini menempatkan semua lokasi di Jerman dalam garis bidik, terlepas dari apakah itu lokasi VW atau anak perusahaannya, di Jerman bagian barat atau bagian timur,
Menurut Daniela Cavallo, Ketua Serikat Pekerja VW, pihak pekerja akan melakukan perlawanan sekuat tenaga. VW selama ini dikendalikan oleh pemiliknya, keluarga Porsche, dan oleh pemerintah negara bagian Niedersachsen, yang memegang seperlima saham perusahaan dan punya kursi permanen di Dewan Komisaris.
Krisis VW diperkirakan akan merembet terhadap industri otomotif di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Kondisi industri otomotif sangat sulit, langkah yang bisa dilakukan untuk industri otomotif di Indonesia adalah membenahi hubungan industrial agar lebih konstruktif dan solutif.
Untuk mengantisipasi masalah diatas, Lembaga Kerjasama (LKS) Tripartit harus bisa menjadi representasi hubungan industrial. Dibutuhkan platform yang tepat agar LKS bisa adaptif dengan masalah aktual dan mampu melakukan pelayanan secara baik pada dunia usaha maupun pekerja sesuai tuntutan perubahan global.
Perlu platform yang bisa meredam rivalitas tajam yang saling berhadap-hadapan dalam tripartit. Diharapkan platform itu bisa mengubah ke arah peningkatan produktivitas, kualitas kerja, kompetensi dan daya saing pekerja.
Keberadaan platform menunjang Sarana Hubungan Industrial yang terdiri Perjanjian Kerja Bersama (PKB), Lembaga kerjasama Bipartit, dan Lembaga kerjasama Tripartit untuk mengatasi masalah yang timbul.
Profesor Kosuke Mizuno peneliti dari Center for Southeast Asian Studies Kyoto University Jepang menyatakan bahwa sistem hubungan industrial di Indonesia masih belum optimal.
Berbeda dengan di Jepang dan Jerman. Di Jerman memiliki kepastian hukum tinggi. Sedangkan di Jepang cenderung menempuh penyelesaian perselisihan secara informal atau jalan perdamaian.
Serikat pekerja di Indonesia belum mampu mengembangkan gerakan yang lebih luas di luar tuntutan hak normatif. Juga belum menemukan pola sinergi dengan pengusaha yang bisa membangkitkan produktivitas dan daya inovasi.
LKS Tripartit diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 4 tahun 2017 tentang perubahan kedua atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 8 tahun 2005 tentang Tata Kerja dan Susunan Organisasi Lembaga Kerja Sama Tripartit.
Pada prinsipnya LKS tripartit merupakan forum komunikasi dan konsultasi. Selama ini LKS Tripartit belum efektif karena terus berkutat mencari bentuk tanpa disertai platform yang tepat.
Saatnya membangun platform sebagai sarana untuk mendongkrak indeks literasi pekerja, kemampuan komunikasi, negosiasi dan koordinasi dalam mediasi hubungan industrial dan pengawasan Ketenagakerjaan. Platform juga ideal untuk mengembangkan bermacam aplikasi model layanan IT tenaga kerja untuk integrasi fungsi pelatihan dan produktivitas, penempatan tenaga kerja, pengawasan ketenagakerjaan, serta jaminan sosial.
Hubungan industrial bisa tidak konstruktif bahkan meruncing dengan munculnya isu yang krusial, Pemerintah perlu mendorong terwujudnya platform otentik yang khas ketenagakerjaan Indonesia untuk mengimplementasikan berbagai macam aplikasi bidang ketenagakerjaan. Termasuk untuk bermacam usaha rintisan terkait perburuhan dan agregasi konten-konten yang menyangkut segala aspek luas ketenagakerjaan. Dengan adanya agregasi konten ketenagakerjaan maka segala persoalan ketenagakerjaan bisa tertangani secara efektif.
Saatnya menyambut bangkitnya era platform dengan kondisi faktual di dalam negeri. Mengingat platform merupakan ekosistem yang sangat berharga dan berpengaruh yang dapat dengan cepat dan mudah mengukur, mengubah dan menggabungkan plank atau fitur-fitur baru.
Organisasi serikat pekerja bisa secara mandiri atau berkolaborasi dengan perusahaan rintisan atau startup membangun platform dan plank yang mampu merangkul individu pekerja secara efektif. Kapasitas inovasi nasional maupun inovasi daerah perlu diarahkan untuk menciptakan platform ketenagakerjaan yang searah dengan perkembangan ekonomi digital.
Dinamika ketenagakerjaan di Indonesia yang menyimpan deposit konflik yang kontraproduktif dan hal-hal yang bisa merusak hubungan industrial perlu diatasi dengan komunikasi terapan dan media ketenagakerjaan yang mampu memproduksi konten yang positif. Konten yang mampu memotivasi pekerja dan menambah wawasan profesi.
Adanya media pekerja Indonesia yang mampu mewujudkan agregasi konten dari berbagai penjuru kawasan industri di Tanah Air bisa memacu produktivitas dan daya saing pekerja. Selain itu juga bisa menepis atau mengatasi tindakan-tindakan atau aksi unjuk rasa yang tidak relevan dengan hubungan industrial.
Seperti contohnya, dulu pernah terjadi aksi unjuk rasa oleh massa tidak jelas yang bisa dikatakan salah sasaran kepada perusahaan PMA Jepang, seperti PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN), PT.Mitsubishi, dan lain-lain. Karena adanya masalah pekerja oleh salah satu supplier yang merupakan tier industri otomotif.
Toyota sendiri telah memiliki sekitar 105 supplier yang berada di tier 1. Kalau ditarik garis panjang yakni menyertakan tier 2 dan 3, jumlah tersebut bisa jadi langsung mencapai ribuan.
Dengan kondisi seperti itu jelas tidak relevan jika ada masalah ketenagakerjaan di pihak supplier maka PT Toyota harus terkena getahnya. Bahkan habis waktu untuk hal-hal yang tidak pada tempatnya.
Dengan adanya platform media, serikat pekerja bisa membantu menciptakan situasi yang baik antara pelaku industri dengan para suppliernya untuk mendukung proses produksi. Hal itulah yang juga disadari oleh Toyota Indonesia, yang membuat pabrikan otomotif asal Jepang ini coba menanamkan pemikiran tersebut.
Pihak manajemen PT TMMIN sangat peduli untuk menciptakan hubungan industrial yang konstruktif terhadap UMKM selaku supplier tier 2 sampai tier 3. Dibutuhkan media dan forum pelatihan bersama bagi entitas tier untuk mencapai standar yang sesuai. Mulai dari quality product, cost, delivery, compliance, serta hal kompleks lainnya. (AM)***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H