Catatan  Arif MinardiÂ
Kondisi ekonomi global berpengaruh buruk bagi usaha perkebunan khususnya industri berbasis karet alam. Volume ekspor karet alam Indonesia kini menurun karena seretnya produksi. Investasi di sektor itu juga mulai lesu. Dengan kondisi seperti di atas pemerintah dan pengusaha sebaiknya mengambil langkah yang konkrit. Perlunya akselerasi proyek infrastruktur yang terkait dengan industri hilir karet alam.
Agribisnis karet nasional tengah mengalami tekanan berat dalam satu dekade ini disebabkan melemahnya harga karet. Kondisi perkebunan karet mendapat tambahan beban dengan outbreak serangan penyakit gugur daun yang menurunkan produktivitas karet. Produksi karet alam Indonesia juga mengalami penurunan sejak tahun 2018 sampai sekarang. Tahun 2017 produksi karet RI masih mencapai 3,68 juta ton. Tahun 2023 hanya 2,44 juta ton.
Ada empat faktor penyebab utama penurunan produksi. Mulai dari harga karet yang tak kunjung naik, serangan penyakit gugur daun yang menyebabkan produktivitas kebun menurun signifikan, kurangnya tenaga kerja penyadap, hingga konversi kebun karet ke tanaman lain.
Selain faktor diatas, masih ada masalah serius yang datang dari Uni Eropa. Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo) meminta pemerintah supaya gerak cepat mengantisipasi berlakunya Undang-undang (UU) Anti Deforestasi Uni Eropa (European Union Deforestasi Regulation/ EUDR). Pasalnya, salah satu aturan yang disyaratkan dalam UU itu adalah terkait geolokasi. Yaitu, menunjukkan asal usul produk dan bahan bakunya yang akan diekspor ke Uni Eropa (UE).
Data menunjukkan 92 persen produksi karet Indonesia berasal dari perkebunan rakyat. Satu per satu pabrik pengolahan karet di dalam negeri mengalami penurunan utilisasi hingga ke bawah 50 persen. Kondisi itu kemudian berlanjut hingga menyebabkan tutupnya pabrik. Tercatat selama tahun 2018-2023, ada 48 pabrik yang tutup. Jumlah pabrik yang bertahan hidup 104 pabrik crumb rubber (pengolahan karet).
Perlu menggenjot hilirisasi karet alam untuk produk seperti ban, alas kaki, ban vulkanisir, alat-alat medis dan lain sebagainya. Selain itu perkebunan karet juga yang berperan dalam menyerap karbon sangat potensial masuk pasar karbon yang bursa untuk itu sudah dibuka. Perlu revisi peta jalan di hulu dan hilir karet terkait keberlanjutan suplai dan permintaan. Semakin tinggi serapan domestik akan memberikan dampak membaik penyerapan tenaga kerja lokal dan bergairahnya kembali perkebunan karet.
Proyek infrastruktur industri hilir untuk produk-produk karet alam akan semakin banyak menciptakan lapangan kerja. Sayangnya, masih banyak jajaran birokrasi yang belum memiliki visi perkebunan sehingga mengabaikan begitu saja pembangunan kawasan klaster agroindustri terpadu sebagai langkah diversifikasi dan perolehan nilai tambah usaha perkebunan karet.Â
Padahal kluster tersebut mampu menciptakan lapangan kerja baru dan mendorong lahirnya UMKM di sekitar area perkebunan. Sekedar catatan, usaha perkebunan secara nasional mampu menyediakan lapangan kerja langsung.
Selama ini pemerintah bermimpi bahwa Indonesia akan menjadi produsen karet alam terbesar di dunia. Padahal, sekarang ini sekitar 80 persen perkebunan karet umurnya sudah berusia tua. Sehingga berdampak terhadap rendahnya produksi. Kondisi tersebut memerlukan peremajaan atau replanting terhadap tanaman karet.Â
Namun pengadaan benih dan biaya persemaian sulit didapatkan. Proses pengadaan benih lewat rekayasa genetika pun masih sulit dilakukan. Akibatnya petani karet kembali ke pola primitif dalam meremajakan kebunnya. Yakni dengan menggunakan bibit atau anak karet yang tumbuh liar di alam.Â
Karet yang berasal dari bibit primitif tersebut baru bisa disadap setelah berusia delapan hingga sepuluh tahun dan produktivitasnya rendah. Sedangkan benih karet unggul hasil rekayasa genetika seperti dari Klon Generasi Ke-4 atau klon G-4 lebih cepat berproduksi, yaitu saat usia tanaman sekitar empat tahun. Selain itu lateks yang keluar dari bibit unggul tersebut juga lebih besar volumenya.
Sebenarnya aspek ketenagakerjaan dan pengembangan profesi yang terkait bidang usaha perkebunan sangat prospektif di masa mendatang. Sebaiknya pemerintah menerapkan inovasi teknologi dan produk perkebunan. Hasil riset dan inovasi sektor perkebunan yang sudah ada mesti disebarluaskan secara mudah dan murah.Â
Seperti berbagai jenis klon atau varietas unggul. Hampir semua tanaman perkebunan telah memiliki klon atau varietas unggul dengan produktivitas yang tinggi serta sifat sekunder yang lebih baik atau sesuai dengan permintaan pasar. Sebagai contoh adalah tanaman karet yang memiliki sederet klon seperti IRR-42, IRR-39, IRR-118, BPM-107, BPM-109.
Perlu insentif dari pemerintah untuk mengembangkan industri hilir perkebunan. Karena hal itu juga akan memperluas lapangan kerja dan memperkuat ekonomi kerakyatan. Sebagai contoh program teknologi industri hilir perkebunan adalah teknologi barang jadi lateks dan karet seperti O-ring atau oil seal untuk permesinan, kapal laut, impeller kapal laut, track shoe, boogie-wheel, tank buffer dan rubber fender dan lain-lain.Â
Dengan adanya insentif yang tepat, maka industri berbasis karet alam bisa menjalankan rencana strategis perseroan untuk mengintegrasikan model bisnis dari hilir ke hulu. Industri berbasis karet seperti industri ban bisa menggenjot volume produksi ban untuk passenger car radial dan ban bagi motorcycle. Kedua produk tersebut kini tumbuh sekitar 28 persen.
Masalah pajak perkebunan selama ini juga masih menjadi persoalan yang dilematik. Pemerintah cukup agresif menggarap objek pajak perkebunan untuk menggenjot penerimaan PBB. Namun, kondisi operasional di lapangan masih memprihatinkan. Sehingga sangat merepotkan pelaku usaha perkebunan. Apalagi mereka merasa keberatan karena hampir setiap tahun ada kenaikan NJOP. Seharusnya usia produktif suatu tanaman menjadi basis perhitungan nilai pajak.Â
Untuk itu sebaiknya pemerintah mengubah pola perhitungan NJOP yang berbasis umur tanaman bukannya dipukul rata. Pemerintah hendaknya terus memperbaiki penatausahaan PBB sektor perkebunan. Kondisi itu juga menyebabkan mismanajemen dalam pendataan data wajib pajak perkebunan. Apalagi Sistem Manajemen Informasi Objek Pajak (SISMIOP) belum mencakup penatausahaan PBB perkebunan secara lengkap.
Industri ban harus terus dipacu dengan pemberian berbagai insentif karena Indonesia memiliki areal perkebunan karet yang cukup luas. Jangan sampai Indonesia dikemudian hari hanya merupakan importir produk karet alam mentah yang miskin nilai tambah dan kurang menyerap lapangan kerja.Â
Kebangkrutan pabrik ban yang terjadi beberapa tahun yang lalu tidak boleh terjadi lagi karena berdampak terhadap PHK secara besar-besaran. Pada saat itu uluran tangan pemerintah tidak kunjung datang, akibatnya satu persatu industri ban kolaps. Seperti contohnya PT Intirub, padahal industri tersebut pernah berjaya sebagai produsen ban. (AM)***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H