Catatan  Arif Minardi
Tiada kata yang lebih indah dalam perjuangan serikat pekerja atau serikat buruh selain kata persatuan. Dengan persatuan niscaya kita bisa mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial. Dengan persatuan, perjuangan kita tak bisa dikalahkan.
Langkah partai politik (parpol) bergabung dan membentuk koalisi gemuk dalam pemerintahan justru menuai krisis kepercayaan dari rakyat. Kondisi demokrasi saat ini yang boleh dikata sedang rusak perlu disikapi oleh serikat pekerja/buruh dengan melakukan leapfrogging perjuangan.
Saatnya bagi organisasi SP dari pengurus unit hingga pengurus pusat melakukan restrukturisasi atau menata organisasi yang lebih fundamental. Sebagai langkah pertama adalah sepakat untuk memberlakukan sistem Meritokrasi organisasi. Ayo kita susun sebaik-baiknya sistem meritokrasi pada organisasi kita.
Kini partai politik telah mengalami krisis kepercayaan dan krisis moral yang cukup berat. Organisasi buruh tidak boleh seperti itu. Dengan mata telanjang rakyat melihat bahwa kebanyakan tokoh parpol menjual kegenitan dan pesona yang dangkal. Akibatnya, di kemudian hari para konstituen akan menyesal karena sosok selebritis yang dipilih sebagai wakilnya ternyata kedodoran dalam mengartikulasikan aspirasi dan mengalami kebuntuan dalam mencipta solusi kebangsaan. Fenomena yang terjadi pada parpol itu jangan ditiru.
Untuk mencegah penyakit kronis parpol agar tidak menjalar kepada organisasi pekerja, tiada lain dengan cara menjalankan sistem meritokrasi pada organisasi pekerja yang relevan dengan perkembangan zaman.
Kemajuan bangsa-bangsa ditandai dengan tingkat produktivitasnya. Indonesia kini membutuhkan banyak pahlawan masa kini, yakni tokoh yang mampu menggenjot produktivitas bangsa yang tiada lain berasal dari kaum buruh. Tanggung jawab besar dan mulia bagi pekerja terhadap bangsanya adalah meningkatkan produktivitas.
Hingga kini kita masih prihatin, dibandingkan dengan negara lain, produktivitas tenaga kerja di Tanah Air masih lebih rendah dari rata-rata negara anggota Asian Productivity Organisation (APO) atau Organisasi Produktivitas Asia. Ini karena pemerintah kurang memberikan kesejahteraan dan sistem pelatihan yang tepat bagi kaum buruh.
Sungguh prihatin melihat fenomena gap produktivitas (productivity gap analysis) antara Korea Selatan, Malaysia dan Indonesia. Di mana produktivitas Korea Selatan lebih tinggi sekitar 6,35 kali (635%) dari produktivitas Indonesia. Produktivitas Malaysia lebih tinggi sekitar 2,93 kali (293%) dari produktivitas Indonesia. Produktivitas Korea Selatan lebih tinggi sekitar 2,17 kali (217 %) dari produktivitas Malaysia. Organisasi buruh seperti kita ini tentunya memiliki kemampuan untuk menemukan solusinya.
Kajian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (sekarang BRIN) menyatakan bahwa reformasi pergerakan buruh kembali semarak setelah pemerintah meratifikasi konvensi ILO No. 101 tentang kebebasan buruh untuk berserikat. Adanya ratifikasi tersebut memberikan angin segar bagi kaum buruh karena setiap buruh memiliki hak yang sama dan kebebasan untuk membentuk konfederasi, federasi ataupun serikat pekerja.
Namun hal diatas justru menjadi bumerang. Karena dengan banyaknya konfederasi /federasi maupun serikat maka terjadi banyak fragmentasi pemikiran dan perjuangan yang diusung. Akibatnya antar konfederasi/serikat pekerja menjadi tidak efektif dan bias disana-sini ketika menghadapi keputusan pengusaha maupun pemerintah. Dalam konteks lain baik pengusaha maupun pemerintah juga bingung dalam menentukan konfederasi yang benar-benar merepresentasikan suara buruh.
Berdasar data ILO sejak tahun 2011 jumlah buruh di Indonesia ada 90 federasi, 5 konfederasi besar dan 11.0000 SP/SB di tingkat PUK. Melihat permasalahan diatas diperlukan siasat dan leapfrogging atau lompatan besar dalam perjuangan buruh di Indonesia.
Siasat bertujuan menguatkan peran buruh sebagai salah satu pilar kebangsaan/demokrasi dan mampu menjadi intelektual publik. Apalagi gerakan-gerakan buruh selama ini berpotensi menjelma sebagai gerakan perubahan sosial. Sedangkan leapfrogging, yang secara harfiah berarti lompatan katak, merupakan lompatan hebat dari organisasi buruh dalam menghadapi persoalan ketenagakerjaan hingga persoalan bangsa lainnya. Termasuk persoalan politik yang kerap kali menjerat kaki buruh.
Sekarang ini merupakan momentum untuk membangun media komunikasi yang bisa meningkatkan daya literasi para pekerja. Daya literasi adalah prasyarat utama dalam mewujudkan organisasi pekerja yang kuat sesuai dengan semangat zaman.
Media massa buruh dalam berbagai bentuk terkini sangat strategis untuk menghadapi era revolusi industri 4.0, Dimana para buruh dituntut meningkatkan kompetensi diri. Peningkatan itu niscaya ditentukan oleh tingkat literasi kaum buruh. Masih rendahnya tingkat literasi buruh saat ini bertemali dengan rendahnya indeks literasi nasional. Menurut The World Most Literate Nation Study tingkat literasi Indonesia dalam peringkat bawah dari negara yang diteliti.
Sebelum Indonesia merdeka, pada era sekitar tahun 1930-an tingkat literasi kaum buruh di Tanah Air justru pernah dalam tingkat yang tinggi. Hal itu ditandai dengan adanya media massa yakni tiga surat kabar yang dikelola sendiri oleh kaum buruh dan tokoh pergerakan bangsa yakni koran Moestika, Oetoesan Indonesia dan Soeara Oemoem.
Konten ketiga koran diatas selain menjadi senjata kaum buruh dalam hubungan kerja juga menjadi alat yang hebat untuk mendongkrak tingkat literasi kaum buruh. Tokoh pendongkrak literasi tersebut antara lain Haji Agus Salim, Surjopranoto, Sukiman, Mohammad Hatta.
Kini tantangan dan tekanan terhadap organisasi buruh semakin kompleks. Selain meningkatkan profesionalisme dan kompetensi, organisasi buruh juga memiliki misi penting yakni meningkatkan literasi bagi buruh dan keluarganya.
Tingkat Literasi adalah salah satu faktor untuk menjadikan buruh mampu menempatkan dirinya bisa setara dengan pengusaha. Menurut UNESCO, definisi Literasi adalah kemampuan individu untuk membaca, menulis, berbicara, menghitung dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian yang diperlukan dalam pekerjaan, keluarga dan masyarakat.
Dengan tingkatan literasi yang meningkat buruh bisa membuat aksi lebih efektif. Meningkatkan kompetensi lebih cepat dan bisa bernegosiasi dengan piawai. Agenda organisasi serikat pekerja membutuhkan daya literasi yang baik. Tanpa kemampuan literasi yang bagus dari pengurus organisasi buruh, maka setiap langkah perjuangannya sulit diviralkan dengan baik. Dengan kemampuan literasi yang bagus serikat pekerja bisa mengimbangi kebijakan pemerintah yang berpotensi merugikan kaum buruh.
Dengan daya literasi yang bagus, buruh bisa membedah secara komprehensif kondisi perusahaan dan masalah kebangsaan yang terkait perburuhan.Selama ini forum perundingan ketenagakerjaan belum diikuti oleh para perunding yang efektif. Akibatnya proses perundingan secara dini sudah mengalami kebuntuan. Dalam situasi genting seperti itu kuncinya terletak kepada kepiawaian bernegosiasi. (AM)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H