Karena perubahan begitu cepat, maka akan lebih memberdayakan manakala kemajuan diukur dari progress perkembangannya. Kemajuan apa yang berhasil diwujudkan, bukan semata hasil akhir yang bisa jadi kelak tidak relevan lagi.Ketika hal diatas sudah terbangun di seluruh jenjang organisasi buruh, inilah yang disebut kondisi agile organization.
Disruption yang dipopulerkan oleh Clayton Christensen bisa dikatakan sebagai kelanjutan dari tradisi berpikir "harus berkompetisi, untuk bisa menang (for you to win, you've got to make some body lose)" begitu kata Michael Porter.
Dalam pendidikan bisnis global ada dua teori paling diingat oleh mahasiswa, yakni: Disruptive Innovation (Christensen) dan Competitive Strategy (Porter).
Namun begitu ada mazhab yang mengevaluasi dua teori diatas. Adalah W Chan Kim and Rene Mauborgne, dua profesor INSEAD yang pertama kali di tahun 2005, tepat 10 tahun setelah istilah "Disruption" dipopulerkan Christensen, mengeluarkan teori yang menyentak, bahwa kita tidak perlu "bersaing" dalam kondisi berdarah-darah untuk sukses. Tidak perlu "mengalahkan" bahkan "membunuh" untuk bisa menang dalam berbisnis.
Evaluasi tersebut dilanjutkan 12 tahun kemudian, lewat buku yang berjudul "Blue Ocean Shift". Duet setia Profesor INSEAD ini memberi salah satu contoh gambaran bahwa gerakan Micro-finance yang dipelopori oleh Muhammad Yunus boleh dibilang tidak mengganggu bank manapun namun memberi manfaat pada jutaan orang miskin.
Ada beberapa pihak yang bisa sukses tanpa melakukan disruptive innovation. Pihak tersebut melakukan inovasi yang beyond-disruption. Mereka menciptakan pasar baru, dan mereka sukses tanpa harus mengalahkan atau mengubur siapapun. Karena mereka pada hakekatnya melakukan non-disruptive creation. (AM) ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H